Ini Arti Greenflation, Istilah yang Ditanyakan Gibran ke Mahfud MD sampai Bikin Panas

Senin, 22 Januari 2024 | 12:01 WIB
Ini Arti Greenflation, Istilah yang Ditanyakan Gibran ke Mahfud MD sampai Bikin Panas
Mahfud MD dan Gibran Rakabuming di debat Pilpres 2024
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Debat keempat Pilpres yang digelar pada Minggu (21/1/2024) semalam kini ramai diperbincangkan publik. Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka kembali memberikan pertanyaan dengan istilah asing seperti pada debat cawapres sebelumnya.

"Bagaimana cara mengatasi greenflation? Terima kasih," tanya Gibran kepada Mahfud.

Pertanyaan Gibran ini direspons oleh moderator debat yang meminta Gibran untuk menjelaskan terminologi atau istilah asing tersebut. Namun, tampaknya Gibran sengaja tidak menjelaskannya karena menganggap Mahfud MD sudah mengerti.

"Ini tadi tidak saya jelaskan karena kan beliau (Mahfud MD) kan seorang profesor," jawab Gibran.

Baca Juga: Dituding Gibran Anti Nikel, Tom Lembong Keras: Jangan Konyol Karena Senjata Makan Tuan

Jawaban Gibran pun menuai banyak sorakan dari para pendukung lain. Gibran pun akhirnya menjelaskan apa maksud greenflation tersebut.

Namun, jawaban Mahfud MD pun dianggap tak sesuai dengan pertanyaan Gibran hingga menuai kontroversi lantaran gestur putra sulung Presiden Joko Widodo itu yang dianggap berlebihan.

Lalu, apa sebenarnya arti "Greenflation" tersebut? Simak inilah penjelasan selengkapnya.

Arti Greenflation atau Inflasi Hijau

Perubahan iklim, fenomena alam, hingga adanya inflasi di berbagai sektor sumber daya alam berdampak besar dalam isu pemanasan global hingga para ahli menyebut adanya "greenflation" atau dalam bahasa Indonesia berarti inflasi hijau yang kini menjadi isu global.

Baca Juga: Gibran Paling Viral di Medsos usai Debat Cawapres

Anggota Dewan Eksekutif European Central Bank (ECB) Isabel Schnabel pada tahun 2022 pernah mengungkap apa makna inflasi hijau itu sendiri. Menurut pidatonya, inflasi hijau adalah bagian dari inflasi yang dapat dikaitkan dengan pergeseran dalam perekonomian menuju peningkatan penggunaan teknologi ramah lingkungan.

Menurut Peta Jalan Net-Zero 2050 dari Badan Energi Internasional (IEA), energi terbarukan diperkirakan akan meningkat dari 10% dari bauran energi kita saat ini menjadi 60% dalam 27 tahun ke depan.

Meskipun bukan merupakan daftar lengkap alat-alat yang akan menjadi ciri transisi ramah lingkungan, baterai, panel surya, dan turbin angin kemungkinan menjadi teknologi paling menonjol yang mendominasi gagasan kolektif kita tentang seperti apa masa depan yang ramah iklim.

Teknologi lain yang termasuk dalam hal ini termasuk LED, jaringan pintar, dan pompa panas. Peningkatan investasi pada energi terbarukan dan paparan terhadap komoditas terkait sangat diperlukan untuk mencapai tujuan ini.

Seperti yang diungkapkan oleh Schnabel, apa pun jalur dekarbonisasi yang diambil demi melestarikan lingkungan, teknologi ramah lingkungan akan berperan besar dalam pertumbuhan permintaan sebagian besar logam dan mineral serta bahan tambang lain pada masa yang akan datang.

Seiring dengan meningkatnya permintaan, pasokan menjadi terbatas dalam jangka pendek hingga menengah. Biasanya, diperlukan waktu lima hingga sepuluh tahun untuk mengembangkan teknologi tambang baru. Akibat dari peningkatan permintaan di tengah lambatnya penyesuaian pasokan inilah yang disebut sebagai greenflation atau kependekan dari green inflation.

Pengembangan sektor sumber daya baru terutama teknologi terbarukan ini pun menjadi salah satu bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB yang ditargetkan bisa dicapai di tahun 2030 mendatang.

Namun, munculnya krisis pasokan energi terbarukan dalam puncak permintaan masyarakat global inilah yang juga sedang dikaji ulang demi mendapatkan solusi dari para petinggi dan pemangku jabatan yang memiliki kewenangan dalam bidang lingkungan.

Kontributor : Dea Nabila

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI