Suara.com - Guru Besar Ekonomi Emeritus, Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia, J. Soedradjad Djiwandono, berharap Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka bisa menjadi presiden dan wakil presiden melalui Pilpres 2024. Didukung dengan profesionalisme, kejujuran, hingga komitmen keduanya, ia percaya bangsa Indonesia bisa bersatu menghadapi tantangan global.
Soedradjad meyakini, di tangan Prabowo-Gibran, Indonesia akan lebih percaya diri menuju Indonesia Emas 2045. Dengan arti lain, kalau berhasil, maka Indonesia bisa meningkatkan statusnya dari segala bidang.
"Berdasarkan beberapa jajak pendapat dan pembacaan para calon, berharap presiden baru dan wakil presiden pasti Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka," kata Soedradjad melalui tulisan opininya yang ditayangkan Independent Observer, dikutip Jumat (12/1/2024).
"Saya percaya bahwa didukung oleh profesionalisme mereka, kejujuran dan komitmen untuk mendapatkan pekerjaan selesai, kita sebagai orang Indonesia bersatu akan dapat menangani yang baru tantangan langsung, dan Indonesia akan berbaris dengan percaya diri menuju Era Keemasan, itu juga berarti kita berhasil meningkatkan status kami secara internasional baik di bidang ekonomi maupun sebagai politik," terangnya.
Baca Juga: Terima Laporan, Bawaslu Usut Aksi Ganjar Diduga Bagi-bagi Voucher Internet di CFD Solo
Keyakinan Soedradjad di atas tidak terlepas dari pengamatannya di awal 2024 terkait tantangan dalam sektor politik hingga perekonomian.
Menurutnya, bangsa Indonesia harus mulai memikirkan bagaimana caranya menghadapi tantangan tersebut.
"Bagaimanapun, diam dan berpura-pura seolah-olah (tantangan) akan selesai dengan sendirinya itu bukan pilihan, dan kita harus menghadapinya langsung dan ambil langkah apa pun diperlukan untuk berurusan dengan itu," ungkap ayah dari Budisatrio Djiwandono tersebut.
Ia lantas memaparkan satu persatu tantangan yang akan dihadapi Indonesia ke depannya, dimulai dari sistem demokrasi yang berjalan secara global.
Soedradjad mengamati sistem demokrasi di sejumlah negara Barat yang mulai luntur.
Ia memberikan contoh dengan hadirnya Geert Wilders, politisi Belanda yang menyatakan sikap anti Islam serta imigran.
Lalu ada sosok calon presiden (capres) Prancis, Marine le Pen yang terang-terangan memiliki wacana pelarangan penggunaan hijab di negara tersebut.
Tokoh-tokoh itu menambah deretan pemimpin negara yang sudah berkuasa seperti Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban hingga Perdana Menteri Indonesia Narendra Modi.
"Mereka semua memiliki garis yang sama karena tidak memiliki kepercayaan pada cara kerja sistem demokrasi. Sebaliknya, mereka berpikir bahwa kebijakan luar negeri terbaik adalah menempatkan kepentingan domestik pertama, anti globalisasi dan liberalisasi, tidak ramah kepada imigran, dan lain-lain," jelasnya.
Belum lagi munculnya kemungkinkan Donald Trump kembali terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat, hingga bergabungnya Rusia, Iran dengan China di tengah konflik Israel vs Hamas.
Soedradjad menyebut, hal tersebut didukung dengan munculnya kekhawatiran munculnya implikasi dari perang yang berkelanjutan seperti yang terjadi antara Ukraina dan Rusia hingga Israel dengan Hamas.
Melihat kondisi geopolitik di atas, Soedradjad melihat ada implikasinya juga terhadap perekonomian. Tak terkecuali, itu akan berpengaruh pada negara-negara yang tengah berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk Indonesia.
Bahkan ia menyebut, upaya meningkatkan status dari negara berkembang menjadi negara maju tidak bisa langsung dilakukan.
"Mimpi untuk India, Indonesia dan Arab Saudi untuk menjadi sukses untuk meningkatkan status mereka untuk menjadi ekonomi maju mungkin masih harus menunggu sebentar," terangnya.
Kendati demikian, ia berharap kondisi tersebut tidak mengurangi antusiasme negara-negara tersebut untuk mencapai tujuannya.
"Ini mudah-mudahan tidak akan mengurangi antusiasme negara-negara ini di upaya mereka untuk mencapai tujuan itu, yang ingin dicapai semua negara, cepat atau lambat."