Suara.com - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon angkat bicara terkait polemik pembelian alat utama sistem senjata atau alutsista bekas yang dibahas saat debat capres pada Minggu (7/1) lalu. Ia menilai terdapat kesalahan pemahaman yang mendalam dari dua lawan Prabowo Subianto, yakni Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Menurut Fadli Zon, Anies dan Ganjar yang terus mendesak Prabowo dengan pembahasan alutsista bekas terkesan melecehkan. Bahkan, menjadi blunder karena menunjukkan dangkalnya pemahaman atas pengetahuan industri militer.
"Ucapan-ucapan insinuatif seperti alutsista bekas atau usang yang terus-menerus diulang dengan maksud mendiskreditkan Prabowo, menurut saya adalah pelecehan dan blunder," kata Fadli Zon dalam keterangannya, Kamis (11/1/2024).
"Mereka berpikir hanya dengan ‘common sense’, tak mengerti soal politik dan industri pertahanan yang sebenarnya," tambahnya.
Seharusnya, Ganjar dan Anies tak menyamakan pembelian alutsista dengan produk otomotif. Industri alutsista memiliki prosedur dan mekanisme yang tak mudah dijalankan.
"Perlu diketahui, produk alutsista itu tidak sama dengan produk otomotif yang dibuat atau dijual secara ‘ready stock’ dan massal. Bukan seperti beli barang di toko," ucapnya.
Ia menjelaskan, pembuatan alutsista itu paling cepat setidaknya butuh waktu sekitar tiga tahun. Pembeliannya juga tidak mudah lantaran pabrik mengutamakan kepentingan domestik.
Sesudah masa tunggu produk, tahap berikutnya juga ada periode pelatihan dan sebagainya.
"Sehingga, jarak waktu antara kontrak pembelian hingga alutsista siap digunakan oleh negara pembeli butuh waktu cukup panjang. Kadang penggunaan operasionalnya baru bisa dilakukan 7 tahun setelahnya," terangnya.
Baca Juga: Reza Indragiri soal 'Omon-omon' Prabowo hingga Anies 'Profesor' di Debat: Kalimat Nyinyir
Tak hanya itu, ia menyebut tak semua negara bisa membeli alutsista secara sembarangan. Ia mencontohkan Amerika Serikat yang punya prosedur politik cukup panjang untuk mengizinkan produk alutsistanya dibeli negara lain.
"Itupun kondisinya juga tak selalu terbaru. Untuk negara lain, mereka biasanya lebih suka memperjualbelikan alutsista yang sudah lebih dulu dipakai angkatan perangnya. Ini adalah praktik standar dalam politik pertahanan dan industri militer strategis," jelasnya.
Di samping itu, sebagai negara konsumen, dalam masa tenggang antara satu perangkat yang sudah hampir habis masa pakainya sampai ke kedatangan perangkat baru yang lebih mutakhir, ada yang disebut interim deterrent. Di periode itu kemampuan pertahanan kita tak boleh kosong.
"Di sinilah diperlukan juga alutsista-alutsista yang pernah dipakai. Tentu saja yang usia pakainya masih panjang," tuturnya.
Oleh karena itu, Fadli Zon menilai presiden yang tak memahami persoalan ini akan membawa bahaya bagi bangsa ke depannya. Apalagi, topik alutsista bekas ini digunakan untuk kepentingan politik dan menghakimi lembaga militer.
"Saya sulit membayangkan, misalnya, keluarga besar TNI akan bersimpati terhadap calon presiden yang menghakimi serta merendahkan institusi pertahanan semacam itu," pungkasnya.