Suara.com - Partai Buruh menggelar unjuk rasa di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Alasannya, karena adanya penghambatan kadernya menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Ketua Tim Kampanye Nasional Partai Buruh Said Salahudin mengatakan, ada diskriminasi kepada kelompok buruh yang mengikuti kontestasi Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024.
Menurut dia, diskriminasi itu merupakan penghambat pemenuhan hak politik masyarakat. Namun sayangnya, Bawaslu justru bungkam terhadap penghalangan hak politik tersebut.
"Sejak dimulainya tahapan verifikasi partai politik, banyak terjadi kasus pekerja/buruh yang dilarang oleh instansi atau perusahaan tempatnya bekerja untuk menjadi pengurus, bahkan untuk sekedar menjadi anggota Partai Buruh," kata Said di depan Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Selasa (2/1/2024).
Baca Juga: Survei ICRC: Perindo Kuda Hitam, PPP-PAN Di Pinggir Jurang, PSI Kurang Suara
Said menyayangkan para petinggi perusahaan bisa dengan bebas berpartai, namun buruh justru dilarang berpolitik.
Dia mengungkapkan para buruh mendapat berbagai ancaman, mulai dari dipecat hingga kontrak kerjanya tidak akan diperpanjang.
Bahkan, kata Said, ada pula perusahaan yang melarang pekerjanya untuk membuat postingan yang terkait dengan partai politik di media sosial.
Dia menyebut banyak caleg Partai Buruh yang dipaksa cuti tanpa dibayarkan upahnya. Sebagian yang lain juga diminta mengundurkan diri setelah ditetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kasus yang paling ironis terjadi di Sulawesi Utara. Sebuah perusahaan BUMN secara sengaja menghambat kader Partai Buruh untuk ikut dalam pencalonan dengan cara tidak menerbitkan surat pemberhentian. Sedangkan buruh bersangkutan sudah berulang kali mengajukan permohonan berhenti dari tempatnya bekerja. Akibatnya, KPU Sulut mencoret kader Partai Buruh dari DCT," tuturnya.
Baca Juga: Relawan Ganjar-Mahfud Diduga Dianiaya Aparat TNI di Boyolali, Pemilu Telah Dicederai
Padahal seharusnya, kasus tersebut tidak akan terjadi jika Bawaslu menjalankan fungsi pencegahan dengan cara mengingatkan instansi dan perusahaan tentang hak politik para buruh.
Namun Said menilai Bawaslu tak mengambil tindakan apapun terkait hilangnya hak politik tersebut.
"Bahkan Bawaslu membenarkan tindakan pencoretan kader Partai Buruh dari DCT DPRD Provinsi Sulawesi Utara. Padahal Bawaslu seharusnya justru berperan melindungi hak politik warga negara," ujar dia.
Dia menegaskan bahwa pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan hak politik itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
"Sejak terbit Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003, tanggal 24 Februari 2004, dan dinyatakan kembali dalam banyak putusan yang lain, MK telah tegas menyatakan bahwa Hak konstitusional warga negara untuk berpolitik (political right), khususnya hak untuk dipilih (right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional," beber dia.
"Putusan Mahkamah tersebut antara lain didasari oleh adanya ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya," sambungnya.
Kemudian, dia menyebut pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Lalu, Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 juga menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Said juga menuturkan Partai Buruh mendesak Bawaslu untuk menerbitkan imbauan kepada instansi pemerintah, BUMN, BUMD, maupun perusahaan swasta untuk tidak melakukan tindakan pelarangan, pengancaman, serta intimidasi kepada buruh yang menjadi anggota dan pengurus Partai Buruh, termasuk menjadi calon anggota legislatif atau caleg.
Menurutnya, Bawaslu harus memberikan jaminan kebebasan berpolitik kepada para pekerja/buruh.
"Bawaslu RI harus mengambil alih kasus caleg DPRD Provinsi Sulawesi Utara asal Partai Buruh yang dicoret dari DCT melalui mekanisme Koreksi Putusan dengan cara membatalkan Putusan Bawaslu Sulawesi Utara, sebagaimana hal tersebut dibenarkan menurut ketentuan Pasal 85 Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum," imbuhnya.