Suara.com - Debat cawapres 2024 yang berlangsung Jumat (22/12/2023) malam diJCC Senayan, Jakarta turut berdampak pada pergerakan dinamis tren di media sosial.
Berdasarkan riset dari Indonesia Indicator (i2), perbincangan di media sosial selama debat berlangsung dalam rentang waktu 18.00-23.00 WIB tidak seintens ketika debat capres edisi pertama.
Direktur Komunikasi Indonesia Indicator Rustika Herlambang menyebut, perbincangan netizen pada debat kedua tidak sebanyak debat capres-cawapres edisi perdana (12/12/2022). Pada debat sebelumnya, percakapan mencapai 56.964 post dengan engagement sebanyak 2.460.097. Sementara pada debat kali ini, perbincangan hanya mencapai 35.222 post dengan engagement sebanyak 1.603.740.
Namun secara keaktifan jumlah respons netizen per post sedikit lebih unggul dengan perbandingan 1 ekspos meraih 46 engagement. Sementara di debat sebelumnya 1 ekspos hanya mendapat 43 engagement.
Baca Juga: KPU Respons Tudingan Roy Suryo Yang Sebut Gibran Pakai 3 Mik Saat Debat
Netizen milenial (22-40 tahun) dan generasi X (41-55 tahun) lebih banyak memberikan respon. Milenial berkontribusi hingga 68 persen dalam percakapan, generasi X sekitar 22 persen, sedangkan gen z (18-21 tahun) 6 persen.
"Netizen laki-laki memberi kontribusi lebih besar sekitar 79 persen, sementara netizen perempuan 21 persen. Netizen laki-laki ramai membicarakan seputar hal-hal substansial dari pertanyaan dan jawaban masing-masing cawapres, sedangkan netizen perempuan cenderung mengomentari secara penampilan, baik tempat lokasi, penampilan capres-cawapres yang hadir serta tempat debat yang dianggap lebih baik dibandingkan debat sebelumnya," ungkap Rustika, Sabtu (23/12/2023) dalam keterangannya kepada Redaksi Suara.com.
Rustika menjelaskan, Gibran mendapatkan ekspos serta engagement terbesar dari perbincangan netizen dibandingkan Muhaimin dan Mahfud. Ekspos Gibran mencapai 69.259 dengan engagement sebesar 2.425.615.
Engagement terbesar terlihat dari apresiasi sejumlah netizen terhadap penampilan Gibran dalam Debat, yang dianggap sangat meyakinkan dan melebihi ekspektasi publik. Sementara itu, Mahfud memperoleh ekspos sebanyak 53.479 post dengan engagement sebanyak 1.023.434, dan Muhaimin sekitar 46.573 post dengan engagement sebanyak 1.306.364.
Sebelumnya, banyak yang meragukan Gibran, namun candaan 'dikira cupu ternyata suhu' menjadi narasi yang banyak diunggah oleh netizen. Banyak netizen yang juga mengakui beralih mendukung Gibran karena penampilannya yang melebihi prediksi.
Baca Juga: Komitmen Prabowo-Gibran Optimalkan Ekonomi Syariah Jadi Motor Baru Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
"Secara umum panggung debat semalam milik Gibran dalam arti bukan kemampuan penguasaan temanya melainkan secara psikologis sejak awal orang memang ingin tahu apakah Gibran sanggup berdiri dan berbicara dalam debat semalam atau tidak, dan ia menunjukkan bahwa ia bisa. Gibran memosisikan diri sebagai anak muda yang berhadapan dengan seorang ketua partai dan seorang proffesor," pungkasnya.
Meski meraih emotion trust cukup besar, Gibran juga mendapat emotion disgust atau kekecewaan paling besar di antara cawapres lainnya sekitar 15 persen. Gibran disebut menggunakan strategi yang sama dengan Presiden Jokowi saat menanyakan perihal singkatan maupun istilah yang sulit dipahami.
Sementara, Mahfud merupakan cawapres dengan tingkat perbincangan positif tertinggi sekitar 65 persen, dibandingkan Gibran 48 persen dan Muhaimin 33 persen. Tingginya sentimen positif Mahfud juga diikuti dengan emotion trust yang besar hingga mencapai 65 persen.
Tertinggi diantara cawapres lainnya. Selanjutnya diikuti emotion anticipation 13 persen. Penampilan Mahfud dinilai sebagai hasil dari pengalaman dengan ketenangan dalam setiap jawaban. Mahfud dinilai mampu menjawab pertanyaan sulit yang dilontarkan oleh Gibran menggunakan Helicopter view.
"Pengalaman, keyakinan, track record, jam terbang menjadi salah satu landasan keyakinan publik. Ini yang ditunjukan pada Mahfud. Hal inilah yang membuat netizen mengapresiasi Mahfud dengan ketenangan, jawaban debat yang menggunakan pendekatan rasional dan argumentatif," tukas Rustika.
Muhaimin secara persentase sentimen mendapatkan porsi yang relatif berimbang antara postif, negatif dan netral. Selama debat Muhaimin kerap kali menyebut 'slepet' sebagai jargon yang melekat dengan dirinya dan program AMIN.
Tercatat sebanyak 1.152 unggahan memention jargon tersebut dalam perbincangan Muhaimin dan terbukti menjadi istilah yang paling banyak dipake netizen. Bahkan, dipakai oleh netizen untuk ganti “men-slepet” Muhaimin.
Emotion yang paling dominan dalam perbincangan Muhaimin yakni emotion trust sekitar 35 persen, diikuti emosi anticipation sekitar 20 persen. Muhaimin dinilai cukup rendah hati untuk berkata tidak tahu terhadap pertanyaan dari Gibran mengenai SGIE (State of the Global Islamic Economy).
"Muhaimin dinilai sebagai politisi yang pandai berdiplomasi, mencoba mencari atensi publik dengan narasi perubahan. Di sisi lain netizen masih terbawa dalam euforia debat capres antara Anies dan Prabowo sehingga netizen melihat ada asumsi untuk 'balas dendam' terlihat dalam debat tersebut. Misalnya melalui ungkapan 'anda tidak menjawab pertanyaan saya' atau 'kok gak konsisten'," ujar Rustika.
Berdasarkan peta jejaring perbincangan netizen di Twitter/X, kelompok netizen netral menguasai perbincangan sekitar 34,11 persen, dengan sorotan terbanyak mengarah kepada Gibran yang dianggap menguasai tema debat.
Netizen terekam memberi julukan Gibran sebagai 'El-Sulfat' Muhaimin sebagai 'El-Slepet', sedangkan Mahfud dianggap sebagai sosok senior yang sopan dan menghargai lawan.
Adapun kelompok-kelompok lain yang juga mengisi perbincangan antara lain kelompok pendukung Gibran 25,42 persen, kelompok pendukung Muhaimin 19,51 persen, dan kelompok pendukung Mahfud 17,38 persen.
Indonesia Indicator merupakan perusahaan intelijen media yang memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligent (AI). Data yang dihimpun berasal dari perbincangan netizen di lima platform media sosial (Twitter/X, Facebook, Instagram, Tiktok, Youtube). Data dianalisis secara realtime dengan menggunakan sistem Intelligence Socio Analytics (ISA) dan Social Network Analytics (SNA)