Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti dugaan intimidasi yang diterima sejumlah mahasiswa akibat mengkritisi pemerintah.
Menurut Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya, teror dan intimidasi terhadap orang-orang yang kritis mengawal pemilu juga menunjukan sikap antikritik pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dia menyoroti kejadian Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM UGM) Gielbran Muhammad Noor yang mendapatkan serangkaian teror berupa didatangi intel ke kampus dan doxing di media sosial mengenai latar belakang keluarganya.
Hal itu terjadi setelah Gielbran menyebut Presiden Joko Widodo sebagai alumnus UGM yang paling memalukan.
Baca Juga: Pendaftaran KPPS Pemilu 2024 Segera Ditutup! Cek Jadwal, Syarat dan Cara Daftarnya
"Intimidasi dan teror semacam ini kami nilai sangat berbahaya bagi demokrasi serta hanya akan terus menggerus kebebasan sipil. Terlebih, menjelang hari pencoblosan pada 14 Februari 2024 nanti, ruang pengawasan dalam kerangka check and balances seharusnya terbuka luas," kata Dimas dalam keterangan yang diterima Suara.com, Senin (18/12/2023).
Bukan hanya Gielbran, lanjut Dimas, Ketua BEM Universitas Indonesia Melki Sedek Huang pun mendapatkan perlakuan serupa.
Orangtua Melki yang berada di Pontianak dikabarkan didatangi oleh aparat yang mengaku Babinsa. Selain itu, Melki juga mendapatkan serangan digital berupa peretasan akun WhatsApp-nya setelah mengkritik situasi demokrasi, khususnya yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahkan, kata Dimas, Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) Rizki Agus Saputra mendapatkan serangan fisik berupa pengeroyokan oleh orang yang tidak dikenal berseragam militer pada 15 Desember lalu.
"Serangan ini diduga berelasi dengan aktivitasnya melaporkan kebocoran data kepada pimpinan KPU dan DKPP terkait pelaksanaan Pemilu Serentak 2024," tutur Dimas.
Baca Juga: Cuci Uang Dana Kampanye, Polisi dan KPK Didesak Usut Tuntas
Dia menjelaskan serangkaian tindakan intimidatif ini melanggar berbagai norma seperti halnya Pasal 28 UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi lewat UU No. 12 Tahun 2005.
"Intimidasi terhadap mahasiswa merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan akademik. Selama ini, secara natural, mahasiswa memang menjadi ‘ujung tombak’ pengkritik kekuasaan. Maka, ruang tersebut yang harus dijamin secara utuh," kata Dimas.
"Sebab, lingkungan yang represif terhadap mahasiswa hanya akan menghasilkan pelajar yang takut, apatis serta mematikan daya kritis," tambah dia.
Dimas menegaskan pemilu bukan hanya memberikan hak untuk memilih dan dipilih, tetapi juga hak atas partisipasi dalam proses berjalannya pemilu dan mengkritik lewat berbagai saluran yang harus dijamin oleh pemerintah.
Untuk itu, KontraS mendesak pemerintah, dalam hal ini presiden beserta jajarannya untuk menghentikan segala bentuk teror dan intimidasi selama masa kampanye politik menuju Pemilu 2024.
"Kedua, aparat dan perangkat negara yang terdiri dari Polri, TNI, intelijen hingga ASN untuk bersikap netral dan tidak berpihak pada gelaran Pemilu mendatang," ucapnya.
KontraS juga meminta Komnas HAM dan LPSK untuk bertindak proaktif terhadap kasus-kasus intimidasi terhadap semua masyarakat dan menjamin tidak ada diskriminasi dalam memberikan pelayanan.
Desakan lainnya ialah agar kepolisian mengusut segala bentuk intimidasi dan kekerasan, khususnya yang menyasar pada mahasiswa.
Terakhir, KontraS mendesak KPU dan Bawaslu sebagai otoritas penyelenggara Pemilu untuk memastikan agar ruang-ruang partisipasi menuju Pemilu dibuka seluas-luasnya sesuai dengan nilai HAM dan mengawasi segala bentuk kecurangan.