Suara.com - Hasil debat perdana capres dan cawapres hingga kini masih ramai diperbincangkan. Apalagi beberapa jawaban Anies Baswedan ketika menanggapi pertanyaan dan berbagai strategi tampak sangat apik dan rapih.
Salah satunya ketika disinggung mengenai perizinan tempat ibadah ketika ia menjadi Gubernur DKI. Ia mengklaim kalau sudah menerbitkan izin pembangunan rumah ibadah yang paling banyak selama menjadi Gubernur DKI.
"Kamu bertugas di Jakarta, maka ada begitu banyak izin-izin gereja yang mandek 30 tahun, 40 tahun, dan tuntas dibereskan. Oke? Antreannya amat panjang, yang tidak pernah selesai," kata Anies saat Debat Capres 2024.
"Dan kalau boleh saya laporkan, dalam sejarah Gubernur Jakarta yang berikan izin paling banyak rumah ibadah adalah Gubernur Anies Baswedan," lanjutnya.
Baca Juga: Resmi! Ustaz Abdul Somad Dukung Anies Baswedan Di Pilpres 2024
Tak hanya membangun masjid saja, namun ia juga membangun banyak rumah ibadah lain di Jakarat, misalnya gereja.
"Termasuk umat islam yang mendirikan masjid saya bicara, gereja saya bicara sehingga mendapatkan izin beribadah," ungkapnya.
Lantas apakah yang dikatakan oleh Anies Baswedan itu berdasarkan dengan fakta. Berikut ulasannya.
Data Pembangunan Rumah Ibadah di DKI pada Tahun 2018-2022
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, jumlah fasilitas ibadah Gereja Protestan malah mengalami penurunan dari 2.724 pada 2019 menjadi 1.293 unit atau turun 1.449 unit.
Baca Juga: Analisis Debat Capres Ala Netizen, Siapa Paling Mendominasi?
Berikut detail rincian rumah ibadah dari tahun ke tahun pada masa Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Masjid
Pada 2018 jumlah sarana ibadah muslim berjumlah 2.927 unit, lalu pada 2020 naik menjadi 3.087 unit. Pada tahun 2021 juga masih mengalami kenaikan sampai pada angka 3.433 unit hingga pada tahun 2022 menjadi 3.479 unit. Total kenaikan jumlah masjid di kota/kabupaten DKI Jakarta dari tahun 2018-2022 mencapai 549 unit.
Mushola
Jumlah mushola pada tahun 2018 mencapai 2.775 unit naik secara drastis pada tahun 2020 menjadi 3.214 unit. Kemudian jumlahnya semakin meningkat di tahun 2021 menjadi 3.525 unit hingga 2022 sejumlah 3550 unit. Jika ditotal dari jumlah kenaikan 2018 sampai 2022 mushola di DKI Jakarta ada sebanyak 775 unit.
Gereja Protestan
Pada tahun 2018 jumlah fasilitas ibadah Gereja Protestas sebanyak 2.742 unit, lalu mengalami penurunan pada tahun 2020 menjadi 1.094 unit. Kemudian naik meski sedikit menjadi 1.098 unit pada tahun 2021. Kembali naik lagi dengan jumlah yang lumayan banyak menjadi 1.293 unit. Jika ditotal dari 2018-2022 jumlah Gereja Protestas ini mengalami penurunan sebanyak 1.449 unit.
Gereja Katholik
Pada tahun 2018-2020 jumlah gereja Katholik konsisten hanya 45 unit. Lalu bertambah 2 unit pada tahun 2021-2022 yang menjadi 47 unit.
Pura
Sama halnya dengan Gereja Katholik, pada tahun 2018-2020 jumlah Pura di DKI Jakarta konsisten sebanyak 29 unit. Lalu menurun drastis pada 2021 menjadi 13 unit. Namun, pada 2022 jumlahnya naik menjadi 32 unit.
Vihara
Pada tahun 2018-2020 jumlah Vihara sebanyak 263 unit. Lalu, pada tahun 2021 sebanyak 92 hingga 2020 berjumlah 289 unit. Jadi kenaikan dari 2018-2022 sebanyak 26 unit.
Kelenteng
Jumlah Kelenteng pada tahun 2018-2021 sebanyak 4 unit. Lalu pada tahun 2022 bertambah 1 unit menjadi 5 unit.
Lantas apa sih yang menyebabkan perizinan pembangunan tempat ibadah itu terbilang sangat sulit. Bahkan, tak sedikit memicu ketidakrukunan antar warga mengingat Indonesia adalah negara yang majemuk. Berikut ulasannya.
Alasan Kenapa Perizinan Pembangunan Tempat Ibadah Sangat Sulit
Akar masalah yang menyulitkan perizinan pembangunan hingga terjadinya ketidakrukunan antar warga adalah regulasi negara. Hal itu tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM 2 Menteri). Untuk mendirikan rumah ibadah menurut aturan tersebut harus memperoleh dukungan KTP minimal 90 pengguna rumah ibadah dan 60 warga setempat.
Di sisi lain, pendirian rumah ibadah harus memperoleh perizinan juga dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Aturan ini pun akhirnya mendapat berbagai macam kritik salah satunya karena menyebabkan dikotomi antara mayoritas dan minoritas. Ditambah dengan ketentuan jumlah persetujuan KTP yang dianggap menguntungkan agama yang memiliki jumlah banyak di satu tempat tertentu.
Upaya untuk merevisi aturan ini pun belum ada kejelasan hingga kini. Lantaran selama ini hanya sebatas ucapan dan wacana saja.