Komentar tersebut membuat teringat permasalahan antara SBY dan Megawati di tahun 2004. Kala itu Susilo Bambang Yudhoyono nyata presiden dua periode.
Mulanya ia anak buah Megawati di kekuasaan. Akibat tindakan Megawati yang kala itu mengucilkan SBY karena muncul kabar pencalonannya sebagai capres.
Akhirnya membuat publik bersimpati kepada SBY dan membuktikan Partai Demokrat juara kuota suara pada dua pemilu.
Lantas benarkah masyarakat Indonesia memiliki rasa iba yang tinggi? Berikut ulasannya.
Masyarakat Indonesia Gampang Lupa dan Iba
Pengamat Politik Universitas Diponegoro, Wahid Abdulrahman menyebut sudah menjadi watak masyarakat pemilih di Indonesia yang pemaaf dan melupakannya. Misal diambil dari konteks isu dinasti politik yang sempat santer dibicarakan.
"Menariknya karakter pemilih di Indonesia kan begitu. Satu mudah lupa, kedua mudah iba. Pasti dinastinya dianggap sesuatu yang wajar. Itu tren," ungkapnya.
Meski ada wacana yang menantang praktik dinasti politik secara besar hingga narasi Prabowo yang mewajarkannya, dengan dalih pengabdian keluarga untuk bangsa dan negara. Hal itu pun lama kelaman akan meredakan puncak kemarahan publik.
Jika publik kemarahan sudah reda. Pada akhirnya Gibran akan kembali mendapatkan suara yang banyak.
Baca Juga: Hasil Survei Litbang Kompas, Gibran Tanggapi Santai: Turun Laporin, Kalau Naik Nggak Usah
"Di saat yang sama tidak ada counter wacana yang kuat ya. Masyarakat pemilih kita masih seperti itu. Pada akhirnya akan dianggap sebuah kewajaran," katanya.