Suara.com - Belakangan ini nama Gibran Rakabuming Raka masih santer menjadi sorotan publik. Apalagi usai dirinya meminta pendukungnya untuk selalu positif dengan segala fitnah, nyinyiran dan pernyataan negatif terhadap dirinya yang saat ini menjadi bakal calon wakil presiden (bacawapres).
Putra sulung Presiden Joko Widodo atau Jokowi tersebut menyampaikan pesan tersebut saat melakukan konsolidasi Koalisi Indonesia Maju (KIM) di Bandarlampung, Sabtu (11/11/2023).
"Bapak Ibu singkat saja dari saya. Sekarang ini, banyak serangan-serangan, fitnah, nyinyiran, dan 'statement' negatif, senyumkan saja, tak perlu dilawan, konter, senyumin saja," katanya seperti dikutip Antara.
Selain itu, ia juga mengingatkan kepada pendukungnya untuk bekerja lebih keras lagi dalam memenangkan Pemilihan Presiden 2024, meski saat ini sejumlah lembaga survei merilis elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran lebih tinggi dibanding calon lainnya.
Baca Juga: Hasil Survei Litbang Kompas, Gibran Tanggapi Santai: Turun Laporin, Kalau Naik Nggak Usah
"Kalau Bapak Ibu lihat atau baca rilis dari lembaga survei, kalau jelek berarti harus kerja keras lagi. Kalau bagus, tapi sejumlah survei angkanya memang bagus semua, ya kita harus kerja keras juga," katanya.
Kabar Gibran yang acuh terhadap nyinyiran apalagi pernyataan negatif kepada dirinya itu pun tersebar di media sosial. Banyak yang berasumsi ungkapan Gibran itu bagian dari strategi. Berikut ulasannya.
Reaksi Gibran yang Acuh Terhadap Nyinyiran Bagian dari Strategi?
Permintaan Gibran kepada para pendukungnya untuk tetap tenang dan santai ditengah kabar miring yang menimpanya. Tak sedikit membuat publik turut salut dengan reaksinya bahkan merasa iba karena ia kerap diintimidasi dengan kabar-kabar miring.
Namun, tak sedikit pula yang berasumi bahwa sikap Gibran merupakan bagian dari strateginya. Hal itu pun diungkapkan oleh salah satu warganet pemilik akun X @bucha76.
Baca Juga: 7 Faktor Pendukung Elektabilitas Prabowo-Gibran Kian Meroket Jelang Debat Pilpres 2024
"Itu bagian dari strategi politik juga, agar publik merasa iba dan kasihan bahwa Gibran diserang dengan fitnah & bully'an. Strategi ini sudah dimainkan sejak pilpres 2004 sampai dengan 2019 lalu. Tau sendiri orang Indonesia itu gampang iba kalo sudah ada yang curhat," tulisnya, dikutip Senin (11/12/2023).
Komentar tersebut membuat teringat permasalahan antara SBY dan Megawati di tahun 2004. Kala itu Susilo Bambang Yudhoyono nyata presiden dua periode.
Mulanya ia anak buah Megawati di kekuasaan. Akibat tindakan Megawati yang kala itu mengucilkan SBY karena muncul kabar pencalonannya sebagai capres.
Akhirnya membuat publik bersimpati kepada SBY dan membuktikan Partai Demokrat juara kuota suara pada dua pemilu.
Lantas benarkah masyarakat Indonesia memiliki rasa iba yang tinggi? Berikut ulasannya.
Masyarakat Indonesia Gampang Lupa dan Iba
Pengamat Politik Universitas Diponegoro, Wahid Abdulrahman menyebut sudah menjadi watak masyarakat pemilih di Indonesia yang pemaaf dan melupakannya. Misal diambil dari konteks isu dinasti politik yang sempat santer dibicarakan.
"Menariknya karakter pemilih di Indonesia kan begitu. Satu mudah lupa, kedua mudah iba. Pasti dinastinya dianggap sesuatu yang wajar. Itu tren," ungkapnya.
Meski ada wacana yang menantang praktik dinasti politik secara besar hingga narasi Prabowo yang mewajarkannya, dengan dalih pengabdian keluarga untuk bangsa dan negara. Hal itu pun lama kelaman akan meredakan puncak kemarahan publik.
Jika publik kemarahan sudah reda. Pada akhirnya Gibran akan kembali mendapatkan suara yang banyak.
"Di saat yang sama tidak ada counter wacana yang kuat ya. Masyarakat pemilih kita masih seperti itu. Pada akhirnya akan dianggap sebuah kewajaran," katanya.
Apalagi, majunya Gibran pada kursi cawapres ini mendapat restu dari Presiden Jokowi. Yang mana blio masih menjadi sosok instrumen kekuasaan.