Suara.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mempertanyakan sikap politik sejumlah aktivis korban penculikan dan penghilangan paksa pada 1997-1998 yang mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres).
Dia menilai, langkah aktivis yang telah bebas dari penculikan itu didasari pada alasan pragmatis.
Menurut Usman, ada dua kemungkinan alasan korban penculikan mendukung Mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto, yakni menjadi mereka lupa atau tidak memiliki kepekaan terhadap korban lainnya yang hingga saat ini belum ditemukan.
"Contohnya Yani Afri, putra dari Ibu Tuty Koto. Anaknya, Hardingga, sampai sekarang masih mencari ayahnya itu. Demikian pula Wiji Thukul, itu juga saya kira sampai sekarang belum ditemukan," kata Usman di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, Rabu (6/12/2023).
Baca Juga: Panelis Debat Capres-cawapres Diharapkan Kuasai Isu HAM dan Faktual
Lebih lanjut, Usman berpendapat beberapa aktivis yang belakangan mendukung Prabowo menganggap bahwa mereka bisa bebas tanpa melalui siksaan.
Padahal, lanjut Usman, mereka disiksa sebagaimana yang pernah dialami Nezar Patria yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika.
"Saya tidak tahu apakah Andi Arief pernah disiksa, tapi kalau pernah, lalu bergabung, saya kira kita patut mempertanyakannya, kenapa gitu?" ujar Usman.
Andi Arief saat ini merupakan politisi Partai Demokrat yang masuk dalam Kolisi Indonesia Maju (KIM) pengusung Prabowo. Nama lain yang disebut Usman, yakni Budiman Sudjatmiko.
Solidaritas Dipertanyakan
Baca Juga: Amnesty Internasional Desak KPU Diskualifikasi Capres-cawapres yang Tidak Miliki Visi dan Misi HAM
Usman menyebut, Budiman bukan aktivis yang diculik dan disiksa. Namun, Usman tetap mempertanyakan solidaritas Budiman terhadap aktivis yang pernah disiksa dan masih hilang sampai saat ini.
"Saya kira terlalu terlihat pragmatis dan mungkin itu yang menyebabkan mereka bergabung, bukan karena alasan HAM, tapi karena alasan-alasan kepentingan jangka pendek politik," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menambahkan penyiksaan yang dilakukan pejabat negara merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan.
Terlebih, terduga pelaku penyiksaan berada dalam lingkaran pemerintahan dan menjadi capres yang berpotensi memegang jabatan tertinggi di Indonesia.
"Harusnya kita semua sangat khawatir dan tidak serta merta melihat bahwa saat ada orang yang kemudian bergabung dengan tim ini atau tim itu, kemudian menihilkan keberadaan penyiksaan tersebut," ucap Wirya.
Sebelumnya, Amnesty International Indonesia mengusulkan tiga isu HAM kepada KPU agar menjadi pembahasan dalam debat capres-cawapres. Usman menyebutkan isu pertama yang diusulkan ke KPU yakni soal kebebasan berekspresi.
"Kami sampaikan perlunya mengangkat berbagai undang-undang yang problematis di dalam konteks perlindungan kebebasan berekspresi antara lain KUHP pidana yang baru, kemudian undang-undang ITE dan juga sejumlah aturan yang masih diskriminatif terhadap kelompok minoritas," kata Usman.
Kemudian, lanjut dia, isu kedua mengenai upaya capres dan cawapres dalam memastikan aparat keamanan memiliki akuntabilitas dan pertanggungjawaban.
"Ini bukan hanya kasus-kasus yang terjadi selama ini di berbagai wilayah seperti Tragedi Kanjuruhan atau Tragedi Rempang, Rembang, Air Bangis, Halmahera, Morowali, tapi juga kasus-kasus kekerasan aparat yang terjadi pada saat pemilu atau pada saat hasil pemilu itu dipersoalkan oleh masyarakat," katanya.
Terlebih, pascapemilu 2019, kekerasan aparat kepolisian dinilai menyebabkan kematian dan luka berat banyak orang.
Sedangkan, isu ketiga penyelesaian fan pencegahan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang diharapkan bisa dijawab oleh para capres dan cawapres dalam debat.
Usulan-usulan itu disampaikan Amnesty International Indonesia kepada Koordinator Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat KPU August Mellaz.