Suara.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membantah informasi daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 mengalami kebocoran karena akses yang dimilikinya.
Sebab, Bawaslu mengklaim informasi DPT yang didapatkannya tidak memerinci seperti yang dimiliki Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Anggota Bawaslu Lolly Suhenty mengatakan, pihaknya hanya memperoleh delapan elemen informasi pada DPT yang sifatnya sudah terbuka untuk umum.
"Artinya, memang informasi yang ditempel waktu proses orang mengecek ada namanya apa enggak, dia terdaftar sebagai pemilih apa enggak," kata Lolly kepada wartawan, Selasa (5/12/2023).
Baca Juga: Soal Kasus Kebocoran Data KPU, Kominfo Akui Ada Data yang Mirip
"Kalau nomor NIK, nomor KK, atau misalnya nama orang tua kandung, itu Bawaslu nggak punya," tambah dia.
Untuk itu, Lolly menegaskan kebocoran data yang diduga terjadi pada DPT Pemilu 2024 bukan disebabkan oleh akses data Bawaslu.
"Jadi, kalau ini ada anggapan orang, bisa jadi kebocorannya juga dari Bawaslu gitu. Kami perlu tegaskan, enggak karena di Bawaslu data yang kami miliki sangat terbatas tidak semua elemen data kami punya," jelas Lolly.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy'ari menyampaikan bahwa DPT Pemilu 2024 tidak hanya berada di data center KPU.
"Banyak pihak yang memiliki data DPT tersebut, karena memang UU Pemilu mengamanatkan kepada KPU untuk menyampaikan DPT softcopy kepada partai politik peserta Pemilu 2024 dan juga Bawaslu," kata Hasyim dalam keterangannya, Rabu (29/11/2023).
Baca Juga: BSSN Sampaikan Hasil Investigasi Dugaan Kebocoran Data KPU Ke Mabes Polri, Hasilnya?
Diketahui, akun X @p4c3n0g3 membeberkan adanya threat actor bernama Jimbo menjual data-data dari KPU. Jimbo diketahui membagikan 500 data contoh yang dia retas ke situs BreachForums yang biasa digunakan untuk menjual hasil retasan.
Dalam forum tersebut, ada 252 juta data yang diretas Jimbo tetapi terdapat beberapa duplikasi. Setelah dilakukan penyaringan, terdapat 204.807.203 data unik.
Adapun data yang didapatkan oleh Jimbo berupa NIK, nomor KK, nomor KTP, nomor Parpor, dan data pribadi lainnya. Data tersebut dijual dengan harga 74000 USD atau hampir Rp 1,2 miliar.