Suara.com - Calon presiden (capres) nomor urut 1 Anies Baswedan memaparkan alasan negara bisa menjadi gagal. Pemaparan tersebut disampaikan saat menghadiri agenda bertajuk Konferensi 'Orang Muda Pulihkan Indonesia' yang digelar organisasi nonpemerintah Wadah Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Dalam kesempatan tersebut mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengutip hasil studi karya pakar Ekonomi Daron Acemolu dan James Robinson yang berjudul 'Why Nations Fail'.
"Ini adalah sebuah kesimpulan atas studi di banyak negara, judulnya Mengapa Negara Gagal. Ini ditulis oleh Daron Acemolu dan James Robinson. Di sini dibagi dua, negara yang inklusif dan ekstraktif," kata Anies.
Ia menjelaskan, negara yang ekstraktif, institusi ekonominya, konsetrasi ekonomi pada elite, kemudian pasarnya menguntungkan elite. Lalu terbatasnya akses ke sumber pendidikan dan sumber daya yang lain, lalu terdapat hambatan dalam berbagai inovasi.
Baca Juga: Reaksi Anies Dengar Gibran, Prabowo hingga Mahfud Tak Diwajibkan Mundur Meski Ikut Pilpres
"Kalau kita lihat dalam sebuah negara ekstraktif, kita menyaksikan minim perlindungan HAKI," tuturnya.
Kemudian ia menyampaikan, soal negara yang inklusif. Dalam negara inklusif disebut kesetaraan pada aspek ekonomi, dan aspek pendidikan dan sumber daya yang merata. Lalu adanya dukungan inovasi dan hak-hak diperhatikan.
Kemudian Anies membeberkan aspek politik dalam negara ekstraktif dimana partisipasi politik terbatas dan ada pemberangusan hak untuk kebebasan hingga mengkritik justru malah diproses hukum.
Sementara aspek politik di negara inklusif, strukturnya demorkratis, partsipasinya luas, dan ada perlindungan hak kebebasan. dan rule of law, transparan, pemimpinnya akuntabel.
Untuk itu, Anies pun menyampaikan, dalam mengusung perubahan itu pihaknya ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang inklusif, agar tidak ingin negara menjadi gagal.
Baca Juga: Acara Jalan Sehat Dihadiri Ribuan Masyarakat, Muzani Targetkan Prabowo-Gibran Menang di Sulsel
"Kita berkeinginan, di dalam garis perubahan itu, membawa kebijakan-kebijakan negara menjadi sebuah negara yang inklusif agar negeri ini tidak menjadi negara yang gagal. Tapi negara yagn berhasil dalam memakmurkan dan menghadirkan keadilan," tuturnya.
Ia pun menjelaskan, bagaimana rute menuju negara inklusif, yakni meluruskan paradigma dari institusi yang ekstraktif menjadi inklusif.
"Lalu fokusnya, berubah, dari fokus pada pertumbuhan saja menjadi pertumbuhan, pemerataan, dan kelestarian atau berklanjutan. ini artinya bukan hanya konsentrasi membesarkan kuenya, tapi juga merasakan potongan kuenya dirasakan oleh semua," ujarnya.
"Kedua, kalau tidak memikirkan keberlanjutan, generasi ke depan tidak akan mungkin bisa merasakan yang kita rasakan. Kalau ekonominya menghabisi ekologi, lalu akan dapat apa lagi di masa depan kalau ekologinya sudah habis," katanya.