Suara.com - Nama Gibran Rakabuming Raka masih menjadi sorotan setelah keputusannya maju sebagai cawapres di Pemilu 2024 mendampingi Prabowo Subianto. Pro dan kontra kerap menghiasi media sosial termasuk pembahasan sang putra sulung Presdien Joko Widodo (Jokowi) di media-media konvensional.
Lantas bagaimana pendapat para generasi milenial dan gen z terhadap sosok pria yang saat ini masih menjabat sebagai Wali Kota Solo?. Apakah layak ia terjun ke panggung Pemilu 2024 yang tak sedikit menilai pengalamannya masih seumur jagung?.
Beberapa kaum muda pun mengungkapkan memang sudah mengetahui siapa Gibran Rakabuming Raka. Seperti Shasa salah satu karyawan swasta di Kota Jogja, tak asing dengan nama Gibran.
"Anaknya pak Jokowi, calon wapres 2024," ujar Sasha dikutip dari Program It's Poliparty Time dalam kanal YouTube Suaradotcom, Jumat (24/11/2023).
Baca Juga: Rekam Jejak Dokter Tifa yang Bertubi-tubi Serang Ijazah Gibran
"Putra sulungnya Presiden Jokowi," kata Yayas, warga Solo yang ada di Kota Jogja.
"Anak Pak Jokowi," ujar Stefanus, mahasiswa yang ada di Jogja.
Banyak mengetahui sosok Gibran Rakabuming Raka, mereka juga menebak-nebak prestasi Gibran sejauh ini berpolitik di Kota Bengawan.
"Prestasinya jadi Wali Kota, kuliah ke luar negeri. Itu aja," celetuk Icha yang merupakan karyawan swasta.
"Prestasinya ya?, mungkin background story-nya ya, sebelumnya jadi Wali Kota," kata Stefanus.
Baca Juga: Gibran Pamer Ijazah, Dokter Tifa Klarifikasi Sambil Emosi: Ra Sah Ngegas
"Prestasinya. Apa ya?. Jujur enggak tahu ya sampai sekarang, prestasinya apa, saya cuma tahu, ya dia anak Pak Jokowi aja gitu," kata Sasha.
"Prestasinya aku enggak tahu persis, cuma kalau untuk dua tahun ini jadi Wali Kota Solo, karena aku orang Solo ya. Merasakan banyak sekali, pertumbuhan pembangunan, Solo makin ramai, makin banyak turis. Dan aku dengar pendapatan [Daerah] juga meningkat," kata Yayas menjabarkan beberapa hasil kepemimpinan Gibran di Kota Bengawan.
Gibran Rakabuming Raka memang terlihat memiliki pengaruh yang besar ketika di Solo, pembangunan juga cukup baik di tangan pemilik usaha katering Chili Pari itu. Namun menyusul langkahnya yang maju sebagai cawapres untuk mendampingin Prabowo di Pemilu 2024, Gibran justru menjadi sorotan.
Bukan tanpa alasan, batas usia minimal untuk maju sebagai capres dan cawapres dalam UU tercatat minimal sudah berusia 40 tahun. Sementara Gibran saat ini masih berusia 36 tahun.
Muncul upaya agar persoalan usia tak menjadi batu sandungan Gibran untuk maju sebagai cawapres di Pemilu 2024. Melalui MK, aturan batas usia minimal tersebut justru diubah.
Memang angkanya masih sama yakni 40 tahun, namun dalam UU Nomor 7/2017 Pasal 169 huruf Q tentang batas minimal usia capres dan cawapres minimal 40 tahun atau pernah menduduki jabatan sebagai kepala daerah yang dipilih dalam sistem Pemilu, menjadi jalan mulus Gibran maju ke panggung politik pada 2024 mendatang.
Menanggapi aturan dan keputusan Gibran yang maju sebagai cawapres di usianya yang masih sangat muda, para kaum muda ini mengungkapkan pandangannya.
"Kalau aku sih setuju-setuju aja ya," kata Stefanus.
"Sejujurnya kurang, karena dilihat dari pengalaman kan mungkin dia belum begitu profesional dan terlalu ngerti kan. Cuma karena koneksi yang dia punya kesempatan itu sih menurutku," jelas Sasha.
Hal yang sama juga diungkapkan Icha. Menurut dia, usia mempengaruhi bagaimana Gibran akan memimpin Indonesia ke depan.
"Kalau aku enggak [setuju], karena umur menjamin track record, sepak terjang," tegas dia.
"Enggak setuju. Karena mungkin masih muda dan pengalamannya kurang," ujar Agung pekerja swasta di Jogja.
Namun berbeda dari dua narasumber di atas, Yayas cukup setuju jika memang Gibran maju sebagai cawapres di Pemilu 2024 nanti.
"Kalau aku setuju-setuju aja, asal dia kompeten," ujar dia.
Berkaca dengan pribadi dan sosok ayah Jan Ethes serta La Lembah Manah ini, para generasi Z ini memiliki jawaban yang berbeda-beda. Ada yang menganggap masih memiliki emosi yang tak terkontrol dan juga memiliki sifat humor sekelas pejabat kepala daerah.
"Kalau menurutku dia sebagai Wali Kota Solo itu dinilai cukup baik. Enggak terlalu banyak omong tapi lebih ke yang penting to the point, pendapatku tentang Gibran baik sih. Cuma untuk dia mencalon wapres itu terlalu dini ya," kata Sasha.
"Mas Gibran sosok yang berani ambil risiko dan tantangan menurut aku," kata Stefanus.
Sementara Icha, menilai bahwa Gibran memang menunjukkan persona berbeda di media sosial. Ia membandingkan ketika Gibran berkicau di Twitter atau X dan ketika mengunggah konten di Instagram.
"Kalau di Twitter dia punya citra yang lucu ya. Kalau di Instagram mungkin berbeda sekali, kadang-kadang lebih cenderung memberikan citra dia peduli banget dengan media yang mana suka ngasih screenshoot media yang memberitakan agak nyentilnya dia itu. Banyak punya sisi kepribadian di sosial media gitu sih," ujar Icha.
Berbeda dengan lainnya, Agung jusru memberikan jawaban kocak di mana Gibran merupakan sosok wibu yang cukup intens dan suka dengan karakter Anime.
"Gibran itu kayak, wibu-wibu gitu enggak sih?, humoris," celetuk Agung.
"Gibran itu sangat vokal di Twitter. Dia itu enggak segan untuk intervensi orang. Membalas haters tapi dengan cara yang santai, santun. Cuma aku kurang suka Gibran, pas kemarin dia itu menegur akun Pemkot Solo. Harusnya dia tidak menegur di forum terbuka, cukup di forum internal saja," kata Yayas.
Pendapat anak muda dengan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto memunculkan pro dan kontra. Tak sedikit yang menyebut agar Gibran memperbanyak pengalamannya dulu di wilayah tempatnya memimpin saat ini.
"Kalau aku, jangan dulu deh. Enggak usah, fokus ke Solo aja," ujar Agung.
"Kalau saya sebagai warga Solo itu, kaget, terus mikir nanti Wali Kota [pengganti] siapa?, karena sedadakan itu kan. Tiba-tiba dia ditunjuk jadi wapres sama Prabowo Subianto," kata Sasha.
Beda dari Agung dan Sasha, Stefanus menganggap memiliki pemimpin dari kaum muda itu cukup baik. Aspirasi dari generasi z atau milenial bisa tersampaikan dari sosok Gibran ketika menjadi wapres yang baru nanti.
"Kebetulan aku bukan warga Solo. Tapi sebagai WNI punya cawapres Mas Gibran, menurutku oke aja. Selagi dari Mas Gibran percaya diri," kata Stefanus.
"Kalau saya sebagai warga Solo mendukung-mendukung saja ya, untuk kemajuan Solo dan sekitarnya juga, gitu," ungkap Icha.
Kehadiran Gibran ke panggung politik turut menyoroti peran Presiden Jokowi yang dinilai tengah membangun dinasti politik. Tak hanya Gibran saja, Bobby Nasution yang merupakan menantu Jokowi pun juga mendapat kritikan karena jabatannya sebagai Wali Kota Medan.
Melihat adanya tudingan Jokowi yang tengah mengakarkan keluarganya dalam perpolitikan di Indonesia, para kaum muda juga memberi tanggapannya sendiri terhadap isu politik dinasti.
"Tahu sih, politik yang turun temurun memberikan kekuasaan pada generasi penerusnya," jawab Yayas.
"Politik yang dilakukan dengan satu garis keturunannya. Ya enggak sih, ya kan, harusnya gitu kan?," terang Icha sedikit ragu.
Pandangan Pengamat
Pandangan kaum muda dengan sosok Gibran serta munculnya isu politik dinasti yang dilakukan keluarga Joko Widodo, ikut ditanggapi pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati. Menurutnya, saat ini ada beberapa pembagian karakter anak muda dalam memandang politik dengan kehadiran Gibran sebagai sosok pemimpin muda.
"Pertama, anak muda sekarang suka pada image-image yang ringan, yang tidak berat. Karena mungkin mereka selama ini sudah mengalami banyak tekanan dari media sosial itu, sehingga kalau politik, kampanye atau pemilu itu disampaikan dengan cara yang berat itu bagi mereka enggak akan cocok," ujar Mada dihubungi Suara.com, Jumat.
Karakter kedua, kata Mada, bahwa kaum muda saat ini adalah swing voters. Artinya bisa sewaktu-waktu mengubah pilihan pasangannya ketika masing-masing pasangan calon (paslon) merebut hati mereka.
"Karena dia bisa dikatakan moody pilihannya dan bisa berubah-ubah. Sehingga kalau dari sisi survey ada yang bilang hasil survey memenangkan pasangan siapa gitu nomor berapa, ya jangan gembira dulu. Karena itu kan bisa berubah dan akan bisa turun, bahkan sebaliknya," terang dia.
Maka dari itu, hadirnya Gibran sendiri bukan berarti langsung menarik kaum muda untuk langsung menjatuhkan pilihannya kepada Wali Kota Solo jika nantinya mulai dilakukan pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
"Saya kira, sekarang tidak sesederhana itu. Memang untuk awal-awal ini, iya memang punya. Tapi menjelang periode kampanye nanti dan sudah berjalan, saya kira ketika mereka sudah masuk ke isu-isu pemilu, itu bisa ke mana-mana," terang Mada.
Menyusul usia yang disorot mampu menjadi faktor pemilih muda dalam menentukan paslon, tidak melulu harus dari paslon muda. Ia mencontohkan seperti Prabowo Subianto yang sejak awal tahun sudah menarik generasi milenial dan generasi Z.
Terkait politik dinasti yang berkembang di masyarakat saat ini, Mada mengatakan bahwa isu tersebut masih menjadi perdebatan. Bukan tanpa alasan, di Indonesia sendiri kerap ditemukan politik dinasti dari level desa sekalipun.
"Mungkin dari sisi politik dinasti memang itu sangat debatable juga sebenarnya. Karena fenomena politik dinasti ini kan tidak hanya terjadi di situ, terjadi di semua tempat di hampir semua tingkatan dari desa bahkan sampai nasional," katanya.
Kendati begitu, jika mengacu pada isu abuse of power yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) hingga Gibran menjadi cawapres Prabowo dalam Pemilu 2024 nanti, akan terjadi persepsi yang berbeda-beda.
Mada meyakini bahwa anak muda saat ini bisa lebih terbuka ketika menentukan pilihannya pada Pemilu 2024 mendatang, meski salah satu paslon teseret dalam politik dinasti.
Pondasi dasar nilai-nilai ketatakramaan masih ada dalam diri kaum muda, seperti tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, tidak membohongi orang lain hingga tidak menyelewengkan kekuasaan dalam melakukan korupsi. Hal itu bisa menjadi dasar anak muda ketika melihat para paslon yang akan bertarung di panggung politik nanti hingga menentukan pilihan mereka.
"Itu juga tergantung dari elitenya, dari paslonnya. Kalau paslon itu dirasakan oleh mereka tidak menerobos nilai-nilai mendasar tadi ya, menghalalkan segala cara, membohongi orang lain, melakukan penyalahgunaan kewenangan, nah saya kira kalau isu yang akan diangkat, itu akan mendapat persepsi yang bisa jadi sangat berbeda dengan isu politik dinasti," kata dia.