Suara.com - Pendiri Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menyoroti mangkirnya semua pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam agenda rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI. Agenda RDP dengan DPR itu untuk membahas konsultasi penyesuaian peraturan KPU (PKPU) berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) tentang calon anggota legislatif mantan terpidana.
Terkait hal itu, Ray Rangkuti menganggap jika absennya para pimpinan KPU dalam RDP bareng DPR itu adalah tindakan yang tercela.
"Ketidakhadiran satu pun anggota KPU dalam RDP KPU-Komisi II sama sekali tidak dapat dibenarkan. Dari aspek manapun, ketidakhadiran itu sangat patut untuk dicela,” kata Ray kepada wartawan, Senin (20/11/2023).
Ray menyayangkan sikap KPU yang mangkir ke luar negeri dengan hanya mengirimkan surat permintaan penundaan RDP yang terlambat diterima oleh Komisi II. Padahal, lanjut dia, agenda RDP digelar atas permintaan KPU.
"Materi RDP itu sendiri sangat penting. Bukan saja untuk memastikan nasib mantan napi korupsi tapi sekaligus memastikan harapan masyarakat bahwa mantan napi korupsi harus jeda setidaknya 5 tahun sebelum dicalonkan kembali sebagai caleg," kata Ray.
"Jelas, aturan ini amat sangat menentukan kualitas demokrasi Indonesia. Di tengah berbagai langkah banyak pihak mengikuti pemilu dengan semangat sangat minimalis, putusan MA soal masa jeda napi koruptor ini sangatlah menggembirakan. Ternyata, bagi KPU sepertinya biasa-biasa saja," sambungnya.
Lebih lanjut, dia menilai tidak ada perjalanan ke luar negeri yang jauh lebih penting dari memastikan aturan mantan napi koruptor diketuk palu untuk diberlakukan. Sebab, dia menilai tugas kunjungan kerja ke luar negeri bukan kewajiban pokok KPU yang perlu diprioritaskan ketimbang RDP bersama Komisi II.
"Komisi II kiranya dapat mengangendakan rapat mitra kerja dengan KPU sesegera mungkin. Bukan sekedar membahas PKPU, tapi juga menanyakan tentang alasan KPU beramai-ramai ke luar negeri, memastikan anggaran ke luar negeri itu transparan, dan meminta BPK untuk mengaudit dana plesiran anggota KPU tersebut,” ujar Ray.
Terakhir, Ray meminta Komisi II untuk mengkaji kemungkinan adanya unsur kesengajaan KPU meninggalkan agenda RDP. Pasalnya, dia menilai tindakan KPU yang mendahulukan plesiran ke luar negeri dari pada RDP dengan Komisi II dapat berpotensi menjadi pelecahan terhadap lembaga legislatif.
Disindir Dewan karena Mangkir
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyindir absennya semua komisioner KPU dalam RDP di Kompleks Parlemen Senayan, hari ini.
Awalnya, Doli sebagai pimpinan rapat menyinggung pada saat DPR bersama Penyelenggara Pemilu membahas adanya permohonan konsultasi, semua pihak yang berkaitan lengkap hadir. Namun, hari ini tak ada satu pun perwakilan KPU yang hadir. Pihak KPU hanya mengirim surat permintaan penundaan rapat diberikan kepada DPR pada Minggu kemarin.
"Tapi hari ini, dari KPU tidak ada satupun yang hadir. Jadi kami baru menerima surat, terimanya surat permohonan penundaan karena semuanya sedang berada di luar negeri," kata Doli.
Padahal, menurutnya, kehadiran KPU dalam rapat sangat penting lantaran membahas konsultasi penyesuaian peraturan KPU berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA). Dia pun menyindir KPU RI yang kekinian justru komisioner hingga Sekretaris Jenderal (Sekjen) pergi semua ke luar negeri.
"Saya nggak tahu ya gimana tata cara pengelolaan kantor gitu. Bisa tidak ada satupun komisioner, termasuk sekjennya itu nggak ada di dalam negeri. Kami aja disini yang sekarang sibuk dengan urusan dapil, ya terpaksa harus ada yang datang satupun gitu. Saya nggak tahu ini harus perlu dilaporkan atau gimana sama DKPP ini," tuturnya.
"Terus yang ngurusin kantor di sini siapa gitu? Siapa penanggung jawabnya? Padahal, mereka ngirim surat permohonan sifatnya penting," sambungnya.
Selama ini, kata dia, DPR RI lewat Komisi II sangat komit terhadap adanya surat permintaan konsultasi dari penyelenggara Pemilu, dan tak pernah melakukan penundaan agenda.
Untuk itu, kata dia, adanya kasus tersebut harus menjadi catatan. Terutama bagi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), apakah perlakuan KPU RI tersebut termasuk pelanggaran etik atau tidak.
"Nah jadi, ini menjadi catatan kita sebelum kita mulai ya, terutama DKPP. Ini pelanggaran etik gak tuh ya? Etik manajemen pekerjaan. Gimana pak? Masak kantor ditinggalin semuanya pergi? Se-sekjen sekjennya semuanya pergi semua. Jadi ini catatan kita yang pertama," katanya.