Suara.com - Suhu politik jelang Pemilu 2024 kian memanas, terkini beredar dokumen di kalangan jurnalis yakni pakta integritas Pj Bupati Sorong, Yan Piet Mosso untuk memenangkan capres Ganjar Pranowo.
Dugaan pakta integritas itu memuat tanda tangan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Barat. Pakta integritas itu berisi lima komitmen Mosso sebagi Pj Bupati Sorong.
Salah satunya berbunyi, 'Siap mencari dukungan dan memberikan kontribusi suara pada Pilpres 2024, menimal sebesar 60 persen+1 untuk kemenangan Ganjar Pranowo sebagai Presiden Republik Indonesia di Kabupaten Sorong.'
Mulanya, isu dokumen pakta integritas itu disebut-sebut ditemukan penyidik KPK saat proses penggeledahan terkait operasi tangkap tangan atau OTT yang menjaring Pj Bupati Sorong dan kawan-kawan.
Baca Juga: Nomor Urut 3 Diyakini Bawa Berkah Ganjar-Mahfud Menang Satu Putaran, PPP: Allah Sudah Beri Isyarat
Menanggapi hal itu, Ketua KPK Firli Bahuri belum dapat memastikan apakah hal itu benar ditemukan penyidik saat penggeledahan.
"Saya tidak bisa mengatakan apakah itu disita oleh KPK atau tidak karena saya belum tahu. Jadi saya kalau tidak tahu, saya katakan tidak tahu," kata Firli saat menggelar konferesnsi pers di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (14/11/2023).
Meski demikian, dia akan mencari tahu kebenarannya, apakah benar penyidik menemukannya.
"Tapi nanti akan saya cek, dari mana rekan-rekan dari mana, apakah ada di KPK atau tida," katanya.
"Nanti Pak Deputi yang bisa melihat dari hasil penggeledahan penyitaan yang dilakukan penyidikan KPK atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PJ Bupati Sorong," sambung Firli.
Baca Juga: Dapat Nomor Urut 3 di Pilpres, Ganjar Minta Dibuatkan Lagu Seru oleh Aldi Taher
Data Intelijen Berpotensi Disalahgunakan
Sementara itu, disitat dari BBC Indonesia, Kamis (16/11/2023), pengamat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan bahwa data intelijen berpotensi disalahgunakan untuk memenangkan suara di suatu daerah untuk calon tertentu.
Oleh karena itu, lembaga intelijen serta aparat keamanan perlu betul-betul mempertahankan netralitas.
Peneliti dan Koordinator klaster Konflik, Pertahanan, Keamanan Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN), Muhamad Haripin, mengatakan bahwa hubungan langsung Presiden dengan Kepala BIN memiliki risiko politisasi.
“Penggunaan intelijen oleh presiden untuk kepentingannya sendiri, pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Intelijen yang bergerak sendiri secara otonomi dan unilateral untuk menjalankan kegiatan-kegiatan politik pernah terjadi juga,“ beber Haripin.
Ia merujuk pada kejadian pada September lalu, ketika Jokowi mengatakan pada acara relawan bahwa ia mengantongi data intelijen yang menunjukkan arah geraknya partai politik.
Meskipun data intelijen memang menjadi kewenangan presiden untuk mengakses, seharusnya data itu tidak digunakan untuk kepentingan politik. Haripin menyayangkan hal itu dan menyebutnya ‘penyalahgunaan intelijen‘.
“Intelijen sebagai garis pertama pertahanan dan keamanan nasional dalam konteks mengidentifikasi ancaman-ancaman keamanan nasional dari pihak eksternal maupun internal, bukan untuk kepentingan politik,“ katanya.
Hal tersebut, katanya, tertera dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Jika memang BIN terbukti terlibat dalam mengintervensi proses pemilihan pemimpin negara, Haripin khawatir bahwa masyarakat akan mempertanyakan legitimasi dari hasil pemilu serta tak percaya lagi dengan lembaga intelijen yang seharusnya menjaga keamanan.
“Mungkin akan berujung pada ketidakpuasan masyarakat. Masyarakat merasa pemilunya tidak adil, dan ada ekspresi-ekspresi sosial politik yang lebih radikal dari masyarakat terkait hal itu,“ katanya.
Diragukan Kebenarannya
Sementara, masih dari laporan BBC, pengamat intelijen dari Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS), Ngasiman Djoyonegoro, meragukan kebenaran dari pakta integritas yang beredar di tengah publik.
Sebab, menurut Ngasiman, isi dari pakta itu bertentangan dengan cara kerja intelijen.
“Untuk pemilu saya kira ruang gerak sangat terbatas karena pengawasan dari DPR dan tim intelijen sangat ketat. Jadi tidak mungkin ada penyalahgunaan data intelijen yang seperti kita dengar. Itu saya kira masih agak jauh,“ jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa penggunaan data intelijen dalam pemilihan umum merupakan isu yang sering digaungkan di ranah publik. Sebagai contoh, ia menyebut kasus ketika muncul dugaan bahwa intelijen Rusia ikut campur dalam pemilu AS 2016.
“Artinya sulit untuk membuktikan apakah hasil pemilu merupakan operasi intelijen atau tidak. Biasanya dugaan itu selalu berasal dari pihak yang kalah pemilu. Itu di mana-mana,“ tutur Ngasiman.
Respons Kubu Ganjar-Mahfud
Terkait munculnya isu pakta integritas itu, Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Arsjad Rasjid, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah membuat pakta integritas dengan kepala daerah tertentu untuk membantu pemenangan Ganjar-Mahfud di Pilpres 2024.
"Jelas-jelas TPN tidak pernah melakukan, meminta orang menandatangani surat mendukung yang namanya pakta integritas atau segala macam," kata Arsjad di Gedung High End MNC, Jakarta Pusat, Rabu (15/11/2023).
Untuk itu, Arsjad meminta semua pihak terutama pihak berwajib untuk mengecek soal adanya dugaan dokumen pakta integritas tersebut.
"Jadi tolong dilihat juga kapan tanggalnya dan segala macam dan dengan siapa," katanya.
Ia menegaskan, TPN Ganjar-Mahfud sendiri selalu berpegang teguh terhadap integritas.
"Tapi saya bisa menjelaskan bahwa TPN sendiri, kami sangat berpandangan dan berpegang terhadap yang namanya goverment dan integritas. Jadi itu yang bisa saya sampaikan," imbuhnya.