Suara.com - Aksi cium tangan yang dilakukan Gibran Rakabuming Raka kepada Megawati Soekarnoputri sebelum penetapan nomor urut capres dan cawapres di KPU, Selasa (14/11/2023) dinilai sebagai bentuk manipulasi tanda.
Manipulasi tanda dalam teori kritis mengacu pada ikonik yang sengaja diproduksi untuk memanipulasi persepsi publik sehingga digambarkan bahwa Gibran merupakan politisi santun dan sopan.
"Jadi, menurut saya, ini hanyalah simulacra atau simulacrum yang tujuannya adalah manipulasi tanda yaitu sebuah proses representasi lewat tanda di ruang publik, yaitu aksi cium tangan, dengan tujuan untuk menggantikan fakta sesungguhnya yang sudah terjadi dalam riil politik."
"Di mana, sikap dan tindakan Gibran selama beberapa pekan terakhir terhadap Megawati dan PDIP sebagai partai yang membesarkan dirinya juga keluarganya, justru bertentangan dengan tanda ini," sambung Analis politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Rajamuda Bataona seperti dikutip Antara.
Baca Juga: Usai Ditetapkan KPU Nomor Peserta Pilpres, Begini Jawaban Gibran Soal Firasat Dapat Nomor 2
Dalam tafsir Bataona, hal tersebut fungsional secara politik. Tetap menurutnya, bukan soal moralitas atau ketulusan karena kubu Prabowo dan Gibran percaya bahwa cium tangan merupakan tanda yang bisa mengubah persepsi publik terkait sosok figur.
Pada konteks Gibran cium tangan Megawati, ia menilai persepsi publik bisa diseragamkan bahwa putra sulung Presiden Jokowi itu merupakan sosok politisi santun dan sopan. Padahal, menurutnya, dalam fakta historis politiknya berkata sebaliknya.
Gibran yang selalu lantang dan sudah berkali-kali mengatakan selalu tegak lurus dengan Megawati dan PDIP, akhirnya memilih bersama Prabowo maju dalam Pilpres 2024.
"Inilah yang disebut sebagai manipulasi tanda yaitu ketika suatu objek atau tindakan seperti aksi cium tangan oleh Gibran, lewat pemberitaan media, juga bantuan media sosial, coba didesain untuk menggantikan fakta atau realita riil yang sesungguhnya terjadi," kata Bataona.
Lantaran itu, Bataona menilai bila tidak dibaca secara kritis, maka simulacra tersebut bisa jadi lebih benar, lebih penting, lebih riil, dari realitas dan fakta politik sesungguhnya.
"Jadi menurut saya, aksi cium tangan ini, dalam perspektif kritis, hanyalah sebuah simulacra atau simulacrum, yang mengandung manipulasi tanda di sana, dan publik saat ini tidak mudah ditertibkan dengan tanda semacam ini," katanya.
Dikatakannya, publik memahami filosofi timur yang menghormati orang lebih tua. Namun, ia menegaskan hal tersebut harus dengan catatan, yakni selalu sinkron antara kata dan perbuatan.
"Mereka akan melihat tanda ini hanya sebagai manipulasi yaitu hanya sebuah tanda ikonik yang sengaja diproduksi untuk menertibkan persepsi publik tentang sosok Gibran," katanya.
Sebelumnya diberitakan, Gibran merespons banyaknya tudingan kepada Megawati yang difitnah oleh netizen lantaran dinilai sombong karena tidak merespon sungkem Gibran.
"Kita memang dari dulu gitu dengan Bu Mega. Jadi tidak ada penolakan, mana, mana. Nggak mungkin ada penolakan, makanya jangan percaya dengan video potongan-potongan yang beredar di sosmed," kata Gibran seperti dikutip SuaraSurakarta.id, Rabu (15/11/2023).
Tak hanya itu, Gibran menyatakan bahwa mereka diterima dengan baik oleh koalisi yang mengusung Ganjar-Mahfud pada Pilpres 2024.
"Tidak ada penolakan sekali lagi. Kami bertiga diterima dengan baik, kayak Pak Prabowo sama Pak Sandi masih sangat baik sekali," lanjutnya.
Gibran juga menepis anggapan yang menyebut Megawati sombong saat mereka mendekatinya. Menurut Wali Kota Surakarta ini, Megawati sangat baik dan menerima semuanya.
"Nggak, nggak beliau sangat baik, masih menerima kami kok. Dari saya, Kaesang, Pak Prabowo, semuanya diterima. Tidak ada itu ya penolakan-penolakan nggih," paparnya.