Suara.com - Pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tak jarang menerima tudingan miring dari para lawan politiknya.
Namun kali ini, tudingan menjadi serius lantaran pasangan tersebut kini disebut-sebut sebagai cerminan Neo Orde Baru.
Tudingan tersebut dilayangkan oleh Ketua DPP PDI Perjuangan (PDI-P) Djarot Saiful Hidayat dalam keterangannya, Sabtu (4/11/2023).
"Bersama kita hadapi Prabowo-Gibran sebagai cerminkan neo Orde Baru masa kini," ujar Djarot kepada wartawan.
Baca Juga: Sebut Ada Menteri Berpaham Neolib, Prabowo: Gue Gak Sebut Namanya, Gak Etis!
Djarot lebih lanjut menerangkan bahwa pasangan yang diusung oleh partainya, yakni Ganjar Pranowo dan Mahfud MD akan senantiasa memperkuat demokrasi sekaligus melawan Prabowo-Gibran yang merupakan cerminan Orde Baru.
Lantas, apa itu Neo Orde Baru yang dilayangkan oleh Djarot ke Prabowo-Gibran?
Orde Baru gaya baru?
Istilah Neo Orde Baru atau Neo Orba bukan istilah yang baru. Sejalan dengan penjelasan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiatri, istilah ini juga sempat dilayangkan ke pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua pada 2019 silam.
Kata 'Neo' dalam Neo Orba berarti 'baru'. Dapat dipahami secara sederhana bahwa Neo Orde Baru berarti wujud teranyar dari Orde Baru di era modern ini.
Adapun era Orde Baru merupakan masa pemerintahan Presiden Jenderal Soeharto di Indonesia yang dituding memimpin dengan otoriter.
Mengutip buku karya pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie, salah satu momok yang ditakuti kala Orde Baru adalah Dwifungsi ABRI, yakni para perwira militer yang turut masuk ke politik praktis dan menjabat posisi strategis di pemerintahan.
Melalui doktrin Dwifungsi ABRI, ABRI menjadi organisasi politik terbesar dan terkuat di Indonesia.
Djarot turut singgung keputusan MK
Selain melontarkan julukan Neo Orde Baru, Djarot juga turut menilai bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang dinilai meloloskan Gibran menjadi cawapres adalah keputusan yang penuh rekayasa.
Djarot menegaskan bahwa rakyat kini sudah jeli dan pandai melihat rekayasa yang ada di balik keputusan itu.
"Sebab rakyat semakin cerdas di dalam melihat rekayasa hukum yang terjadi di MK," papar Djarot.
Putusan yang dimaksud Djarot adalah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang emperbolehkan calon yang berusia di bawah 40 tahun menjadi capres atau cawapres jika pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pilkada.
Lebih lanjut, Djarot juga menyayangkan tindakan penurunan paksa baliho kampanye Ganjar-Mahfud.
"Rakyat bereaksi keras atas mobilisasi aparat dengan melakukan penurunan bendera, baliho, dan berbagai atribut dukungan terhadap Ganjar-Mahfud MD," imbuhnya.
Kontributor : Armand Ilham