Suara.com - Pelapor dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) Petrus Selestinus mempersoalkan kosongnya aturan soal Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di tingkat banding.
Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK mengatur hakim terlapor yang dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) harus diberikan kesempatan membela diri melalui MKMK tingkat banding.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) belum menerbitkan Peraturan MK tentang MKMK tingkat banding tersebut. Menurut Petrus, hal ini berpotensi menimbulkan masalah kepastian hukum dari putusan MKMK yang akan dibacakan besok, Selasa (7/11/2023)
"Ini masih perdebatan karena tidak ada mekanisme dalam peraturan yang dibuat ini. Setelah diputus, berapa hari untuk pikir-pikir, menentukan banding. Tidak ada (aturannya)," kata Petrus di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (6/11/2023).
Baca Juga: Bobby Nasution Penuhi Panggilan DPP PDIP Sore Ini, Buntut Dukungan ke Prabowo-Gibran?
Dia menilai mekanisme pembentukan MKMK tingkat banding ini krusial untuk ditentukan. Sebab, Petrus khawatir akan ada konflik kepentingan dalam pembentukan MKMK tingkat banding jika Ketua MK Anwar Usman dikenakan sanksi PTDH sedangkan dirinya pula yang melantik MKMK tingkat banding.
"Makanya seharusnya setop, percayakan kepada (Wakil Ketua MK) Saldi Isra," tegas Petrus.
Anwar Usman dkk Dilaporkan ke MKMK
Dugaan pelanggaran etik yang menjadi perkara di MKMK merupakan buntut dari putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Akibatnya, seluruh hakim konstitusi dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik ke MKMK.
Sebelumnya, MK memperbolehkan orang yang berusia di bawah 40 tahun menjadi capres atau cawapres jika pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pilkada.
Baca Juga: TKN Resmi Terbentuk, Pesan Gibran: Pastikan Kapal Besar Ini Berlabuh di Dermaga Kemenangan
"Mengadili, satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu nomor 182 tambahan lembaran negara nomor 6109 yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang memiliki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah," kata Ketua MK Anwar Usman, Senin (16/10/2023).
Salah satu pertimbangan hakim Konstitusi menerima permohonan tersebut ialah karena banyak anak muda yang juga ditunjuk sebagai pemimpin.
Putusan tersebut mendapatkan banyak reaksi masyarakat lantaran dianggap membuka jalan bagi keponakan Anwar, yaitu Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres.
Adapun mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaibbirru Re A selaku pemohon dalam perkara itu juga memiliki pandangan tokoh ideal sebagai pemimpin bangsa Indonesia yakni mengidolakan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka periode 2020-2025.
Sebab, dia menilai pada masa pemerintahannya, Gibran mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Surakarta sebanyak 6,23 persen padahal pada saat awal menjabat sebagai Wali Kota Surakarta pertumbuhan ekonomi Surakarta justru sedang minus 1,74 persen.
Terlebih, pemohon menganggap Wali Kota Surakarta sudah memiliki pengalaman membangun dan memajukan Kota Surakarta dengan kejujuran, integritas moral dan taat serta patuh mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara.