Suara.com - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menilai Mahkamah Konstitusi (MK) sedang dalam titik nadir sepanjang perjalanan lembaga tersebut.
Sebabnya, Jimly menyebut belum ada perkara serupa dengan kasus yang saat ini ditanganinya. MKMK sendiri menangani laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim akibat putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Terlebih, dugaan pelanggaran tersebut melaporkan seluruh hakim konstitusi, termasuk Ketua MK Anwar Usman.
"Ini perkara belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia di seluruh dunia: semua hakim dilaporkan melanggar kode etik. Baru kali ini," kata Jimly di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (26/10/2023).
Baca Juga: Ditanya Jurnalis Asing Soal Putusan MK Loloskan Gibran, Anies Baswedan Pilih Main Aman
Ketua MK pertama di Indonesia itu merasa tidak tega dengan situasi MK saat ini sehingga dia bersedia menjadi ketua MKMK.
"Saya punya beban sejarah, belum pernah MK terpuruk image-nya kayak sekarang. Saya sebagai pendiri tidak tega. Maka saya bersedia ini," ujar dia.
Pelantikan MKMK
Pada Selasa (24/10/2023) lalu, Ketua MK Anwar Usman resmi melantik Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams sebagai MKMK.
"Saya, Ketua Mahkamah Konstitusi dengan resmi melantik Saudara sebagai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi," ucap Anwar.
Mereka akan bekerja selama satu bulan hingga 24 November 2023 untuk memeriksa dan mengadili sembilan Hakim Konstitusi yang menjadi terlapor dugaan pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim.
Urgensi Pembentukan MKMK
Sebelumnya, MK membentuk MKMK secara Ad Hoc lantaran adanya sejumlah laporan perihal putusan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan pihaknya menerima setidaknya tujuh laporan perihal putusan tersebut.
"Perihal yang mereka ajukan adalah dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim," kata Enny di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (23/10/2023).
Untuk itu, MKMK dirasa perlu untuk dibentuk sebagai pihak yang akan memeriksa dan mengadili hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.
"MKMK terbentuk karena memang salah satunya karena perintah dari undang-undang untuk pembentukan MKMK sebagai bagian dari kelembagaan yang memang dimintakan oleh undang-undang, khususnya pasal 27A untuk kemudian memeriksa, termasuk kemudian di dalamnya mengadili kalau memang terjadi persoalan yang terkait dengan laporan dugaan pelanggaran, termasuk juga kalau ada temuan di situ," tutur Enny.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023
Perlu diketahui, laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim ini disampaikan sejumlah pihak lantaran MK mengabulkan gugatan dalam perkara 90/PUU-XXI/2023.
Dalam putusan itu, MK memperbolehkan orang yang berusia di bawah 40 tahun menjadi capres atau cawapres jika pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pilkada.
"Mengadili, satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu nomor 182 tambahan lembaran negara nomor 6109 yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang memiliki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah," kata Ketua MK Anwar Usman, Senin (16/10/2023).
Salah satu pertimbangan hakim Konstitusi menerima permohonan tersebut ialah karena banyak anak muda yang juga ditunjuk sebagai pemimpin.
Putusan tersebut mendapatkan banyak reaksi masyarakat lantaran dianggap membuka jalan bagi keponakam Anwar, yaitu Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres.
Sekedar informasi, mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaibbirru Re A selaku pemohon dalam perkara itu juga memiliki pandangan tokoh ideal sebagai pemimpin bangsa Indonesia yakni mengidolakan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka periode 2020-2025.
Sebab, dia menilai pada masa pemerintahannya, Gibran mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Surakarta sebanyak 6,23 persen padahal pada saat awal menjabat sebagai Wali Kota Surakarta pertumbuhan ekonomi Surakarta justru sedang minus 1,74 persen.
Terlebih, pemohon menganggap Wali Kota Surakarta sudah memiliki pengalaman membangun dan memajukan Kota Surakarta dengan kejujuran, integritas moral dan taat serta patuh mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara.