Suara.com - Tepat pada 20 Oktober 2023 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjalani empat tahun masa kepemimpinannya di periode kedua sejak tahun 2019. Menjabat sebagai pemimpin RI selama hampir 10 tahun, tentu banyak sekali hal yang terjadi.
Tak jarang ia menerima sorotan, termasuk baru-baru ini, yang mana dirinya dituduh membangun dinasti politik melalui keluarga. Di sisi lain, bertepatan dengan 4 tahun Jokowi di periode kedua, KontraS mengungkap 29 'dosa' sang presiden.
Dalam menyusun laporan tersebut, KontraS sudah menggunakan berbagai metode termasuk konsultasi dengan para ahli di bidang demokrasi dan konstitusi Mereka membagi 29 'dosa' Jokowi selama menjabat sebagai presiden RI menjadi beberapa bagian.
A. Demokrasi Dibabat Habis di Bawah Kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf Amin
1. Regulasi dan kebijakan diputuskan melalui mekanisme yang jauh dari jangkauan publik.
2. Proses penunjukkan Penjabat (Pj) Kepala Daerah yang tidak memperhatikan Accountability, Participation, Predictability, and Transparency.
3. Brutal dan represif dalam menyikapi pendapat di ruang publik.
4. Ada 622 pelanggaran dan serangan terhadap kebebasan sipil meliputi kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai.
5. Penyempitan kebebasan ruang sipil di ranah digital.
Baca Juga: Alasan Jokowi Tetap Ngotot Bangun MRT-LRT Meski Tahu Bakal Rugi
6. Ada 89 peristiwa berkaitan dengan UU ITE, baik penangkapan, pelaporan, hingga pemenjaraan dengan total 101 korban.
B. Kekerasan Berbasis Investasi (Capital Violence)
7. Masifnya pembangunan dan proyek strategis nasional yang memicu konflik terhadap masyarakat.
8. 964 peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di sektor sumber daya alam dan pembangunan.
9. Politik berkepihakan terhadap pemilik modal secara terang-terangan.
10. Memberikan "karpet merah" bagi kepentingan oligarki.
11. Pelanggaran HAM dalam sektor sumber daya alam dan pembangunan.
12. Aktor terbesar dalam konflik agraria; swasta 732 peristiwa, kepolisian 178 peristiwa, pemerintah 113 peristiwa, dan TNI 20 peristiwa.
13. Contohnya kericuhan di Pulau Rempang.
14. Ada konflik di wilayah adat masyarakat Seruyan.
C. Menguatnya Militerisme dan Mundurnya Agenda Reformasi Sektor Keamanan
15. Empat tahun pemerintahan Jokowi kultur kekerasan dan militeristik yang muncul secara terang-terangan.
16. Aktor-aktor keamanan dijadikan sebagai 'senjata' untuk menyelesaikan berbagai masalah.
17. Gagalnya Jokowi melakukan pembenahan terhadap Polri.
18. Gagal Merevisi UU Peradilan Militer dan potensi menguatnya militerisme.
19. Akuntabilitas BIN dan penyalahgunaan intelijen.
D. Buruknya Penegakan Hukum dan Politik Impunitas
20. Dalam banyak kasus, hukum dijadikan sebagai alat penguasa untuk melakukan pembungkaman.
21. Bukti buruknya penegakan hukum, yakni, penyelesaian kasus Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022.
22. Pengakuan dan penyesalan yang disampaikan Jokowi terhadap kasus pelanggaran HAM berat hanya 'omong kosong' karena tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan permintaan maaf yang disusul dengan langkah konkret pertanggungjawaban hukum dan akuntabilitas negara.
23. Hingga detik ini negara belum meratifikasi ICPPED (Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa).
E. Menuju Pemilu 2024: Potensi Kecurangan dan Indikasi Politik Berpihak Jokowi
24. Ketidaknetralan dan politik cawe-cawe Jokowi dalam kajian ketatanegaraan merupakan bentuk penyimpangan terhadap konstitusi.
25. Cawe-cawe presiden dalam pemilu dalam arti campur tangan serta menangani penyelenggaraan pemilu dapat dipastikan menimbulkan ekses negatif.
F. Sikap Jokowi di Level Internasional
26. Indonesia dinobatkan sebagai anggota Dewan HAM PBB keenam kalinya pada 10 Oktober 2023 meski masih memiliki banyak catatan buruk atas situasi HAM dalam negeri.
27. Momentum Universal Periodic Review (UPR), mekanisme Dewan Hukum dan HAM PBB dalam meninjau kondisi dan situasi HAM.
28. Sudah 10 Tahun dan dua putaran UPR, Indonesia belum juga meratifikasi OPCAT untuk isu penyiksaan dan ICPPED di isu penghilangan paksa.
29. Koalisi masyarakat sipil untuk UPR melihat bahwa pemerintah tidak memberikan perhatian yang cukup dan maksimal dalam isu yang dijamin dalam dua konvensi tersebut.
Kontributor : Xandra Junia Indriasti