Suara.com - Salah satu calon wakil presiden pada Pilpres yang akan datang, yaitu Mahfud Md menegaskan, pada masa mendatang, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang terlibat dalam situasi konflik kepentingan tidak diperkenankan untuk mengambil keputusan terkait suatu kasus atau permohonan uji materi.
“Dalam pengadilan itu ada asas-asas sebenarnya, misalnya, yang paling terkenal itu kalau suatu perkara terkait dengan kepentingan diri sendiri, keluarga, punya ikatan kekeluargaan maupun hubungan kepentingan politik, itu hakim tidak boleh mengadili,” kata Mahfud Md.
Menanggapi pertanyaan wartawan mengenai uji materi mengenai usia calon presiden dan wakil presiden yang baru-baru ini diambil keputusan oleh MK, Mahfud Md mengatakan, hakim harus bebas dari segala bentuk konflik kepentingan karena hal ini merupakan bagian integral dari asas-asas dan prinsip penegakan hukum.
Ia juga mengatakan bahwa situasi semacam itu tidak boleh terulang di masa mendatang. "Ini merupakan pelajaran bagi kita semua agar ke depan hal semacam itu tidak terulang lagi," ujar dia.
Baca Juga: Adu Mewah Jam Tangan Capres-Cawapres: Prabowo Paling Tajir Tapi Pakai yang Termurah
Namun demikian, ia juga menekankan bahwa setelah majelis hakim mengeluarkan putusan, maka hal tersebut merupakan keputusan hukum yang bersifat final dan mengikat.
“Putusan MK itu sudah dijatuhkan dan sudah mengikat. Apapun isinya tetap harus dilaksanakan,” kata Mahfud, yang saat ini masih aktif menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI.
Dia menjelaskan jika putusan MK itu tidak dijalankan, maka akan berakibat pada pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
“Oleh sebab itu, ini harus kita terima sebagai kenyataan, karena menurut konstitusi setiap putusan hakim itu inkracht dan harus dilaksanakan. Kalau kita berdebat lagi soal itu, nanti ada alasan untuk membuat sesuatu yang lebih berbahaya bagi bangsa ini,” kata dia.
Ia berharap, masyarakat untuk mengikuti proses pemeriksaan etik yang berjalan kepada para hakim, terutama mereka yang diduga melanggar etik.
Baca Juga: Janji Ganjar-Mahfud Bakal Buka 17Juta Lapangan Kerja Jika Menang di Pilpres 2024
“Sekarang ini sedang berproses di Majelis Kehormatan (MK),” kata dia, dikutip dari Antara.
Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Senin, mengumumkan pembentukan Majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk menerima dan menangani dugaan pelanggaran etik hakim MK yang dilaporkan oleh masyarakat.
Dalam rapat permusyawaratan hakim, MK memutuskan menunjuk tiga nama, yaitu Prof. Jimly Asshiddiqie (mewakili kelompok masyarakat) Bintan Saragih (kelompok akademisi), dan Wahiddudin Adams (hakim konstitusi) untuk bertugas dalam Majelis Kehormatan MK.
MK sejauh ini menerima beberapa aduan pelanggaran kode etik terkait putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan itu, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hasilnya, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, yang menjadikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi: “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan MK terkait batas minimal usia capres-cawapres menjadi sorotan publik mengingat hasilnya dapat memengaruhi bursa cawapres yang maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Putusan MK itu dinilai membuka jalan bagi putra sulung Presiden RI Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka (usia 36 tahun), diusung sebagai calon wakil presiden.
Gibran, pada Minggu malam (22/10/2023), diumumkan sebagai bakal cawapres yang mendampingi bakal calon presiden Prabowo Subianto untuk Pilpres 2024. Pasangan Prabowo-Gibran diusung oleh Koalisi Indonesia Maju yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, Partai Bulan Bintang, Partai Gelora Indonesia, Partai Garuda, PRIMA, dan Partai Demokrat.