Terakhir, perpaduan generasi, di mana Prabowo merupakan capres tertua, sementara Gibran cawapres termuda.
![Poster Prabowo Gibran. [Dok. Partai Gelora]](https://media.suara.com/pictures/original/2023/10/20/34045-poster-prabowo-gibran.jpg)
"Saya kira tiga alasan ini menemukan relevansinya, apalagi kalau bicara rekonsiliasi dan pembelahan yang tajam, yang potensinya juga akan terjadi di Pilpres 2024," katanya.
Bukan Politik Dinasti
Anis Matta menilai dengan mendorong Gibran sebagai cawapres Prabowo, bukan berarti melanggengkan politik dinasti.
Menurutnya, di dalam alam demokrasi, tidak dikenal politik dinasti, karena semua dikembalikan kepada rakyat.
Ia mencontohkan sepak terjang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Puan Maharani dalam politik, yang dianggap sebagai kelanjutan dinasti politik Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden RI-5 Megawati Soekarnoputri.
"AHY maju Pilkada DKI (Pilgub DKI Jakarta 2017) kalah kok. Puan juga tidak dicalonkan sebagai capres, karena memang ini urusannya dengan rakyat. Semua ada kalkulasinya, mau anak siapapun, apakah itu anak presiden atau anak orang biasa sama saja," jelasnya.
Anis menegaskan di dalam sistem demokrasi Pemilu, tidak ada politik dinasti, semuanya setara dan bergantung kepada rakyat sebagai pemegang suara.
"Coba apa kurangnya Puan? Dia anak Megawati. Puan juga sudah kampanye mau jadi capres ke sana kemari, sampai membentuk Dewan Kolonel, tetap nggak dipilih sama PDIP, karena memang pertimbangannya adalah elektabilitas," katanya.
Baca Juga: Di Tengah Kabar Pertemuan Elite PAN, Alphard Putih Prabowo Terparkir di Rumah Dinas Zulhas
Anis Matta menilai, tidak boleh ada diskriminasi usia untuk menjadi pemimpin, dengan menghilangkan hak anak muda.