Suara.com - Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Felia Primaresti menilai logika Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat diterima.
Hal itu disampaikan karena putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan syarat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yaitu minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pilkada.
"Ini berkaitan dengan komitmen negara yang selama ini menggaungkan partisipasi anak muda dalam ranah politik. Apabila memang negara konsisten dengan hal tersebut, seharusnya putusan MK terkait dengan batasan usia cawapres 35 tahun bisa dikabulkan," kata Felia dalam keterangannya, Selasa (17/10/2023).
"Dengan ditolaknya gugatan tersebut dan justru malah mengabulkan gugatan terkait dengan syarat menjadi cawapres yaitu memiliki pengalaman menjadi kepala daerah, akan terasa kental dengan unsur konflik kepentingan mengingat Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman merupakan adik ipar Joko Widodo, yang artinya ia juga merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka dan secara tidak langsung juga berelasi dengan Bobby Nasution," tutur dia.
Baca Juga: Perburuk Demokrasi Lewat Dinasti Politik, Beragam Tokoh Teken Maklumat Keprihatinan
Pada kesempatan yang sama, Peneliti Hukum TII Christina Clarissa Intania menilai putusan MK yang menolak gugatan yang meminta batas usia minimal capres dan cawapres diturunkan menjadi 35 tahun sudah tepat.
Pasalnya, dia menilai aturan soal batas usia minimal capres dan cawapres bukan kewenangan MK.
"Keterlibatan pemuda merupakan hal yang baik dan sangat diharapkan, namun perlu diperhatikan siapa yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan tersebut. Yang mana dalam kasus ini adalah pembentuk peraturan perundang-undangan, yaitu DPR dan pemerintah," ujar Christina.
Sebelumnya, MK menerima permohonan pengubahan batas usia capres dan cawapres yang diajukan seorang mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaibbirru Re A pada Senin (16/10/2023).
"Mengadili, satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu nomor 182 tambahan lembaran negara nomor 6109 yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah," kata Ketua MK Anwar Usman.
Baca Juga: MK Kabulkan Gugatan Perubahan Syarat Capres dan Cawapres, Gibran Tunggu Keputusan Prabowo dan Ganjar
Salah satu pertimbangan hakim Konstitusi menerima permohonan tersebut ialah karena banyak anak muda yang juga ditunjuk sebagai pemimpin.
Sekadar informasi, pemohon juga memiliki pandangan tokoh ideal sebagai pemimpin bangsa Indonesia yakni mengidolakan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka periode 2020-2025 karena pada masa pemerintahannya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Surakarta sebanyak 6,23 persen padahal pada saat awal menjabat sebagai Wali Kota Surakarta pertumbuhan ekonomi Surakarta justru sedang minus 1,74 persen.
Terlebih, pemohon menganggap Wali Kota Surakarta sudah memiliki pengalaman membangun dan memajukan Kota Surakarta dengan kejujuran, integritas moral dan taat serta patuh mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara.