Suara.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand) Charles Simabura menduga, gugatan syarat pencalonan presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi (MK) itu sebagai upaya menyasar tokoh tertentu.
Dugaannya itu dibuktikan dari permohonan agar capres dan cawapres hanya boleh mengikuti kontestasi pilpres sebanyak dua kali.
Untuk itu, dia menilai pengujian undang-undang (UU) menjelang pemilu menjadi rawan disalahgunakan.
"Akhirnya kan muncul juga permohonan membatasi pencalonan dua kali. Hanya boleh dua kali maksimal atau membatasi pencalonan itu maksimal umur," kata Charles dalam diskusi bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang digelar secara daring, Selasa (26/9/2023).
"Kalau sekarang kan ada (yang menguji) minimal umur, ada juga yang minta maksimal umur. Disebut pula umurnya 70 (tahun). Ini kan karena ada yang mau disasar juga, umur siapa yang melewati 70, kan gitu," tambah dia.
Dengan begitu, Charles meyakini, sejumlah gugatan soal syarat pencalonan capres dan cawapres di Mahkamah Konstitusi jelas mengandung unsur konflik kepentingan.
"Jadi, sebenarnya terang benderang bahwa permohonan ini penuh dengan konflik kepentingan dan apalagi kalau lihat konfigurasinya, jelas sekali," tuturnya.
Permohonan Batas Usia Maksimal 70 Tahun
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda pembacaan pokok-pokok permohonan pengujian material Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan nomor perkara 102/PUU-XXI/2023. Salah satu yang dimohonkan dalam perkara tersebut ialah soal pembatasan usia calon wakil presiden.
Baca Juga: Mahfud MD: MK Tak Berwenang Ubah Aturan Batas Usia Capres-Cawapres
Dalam sidang ini, kuasa hukum pemohon, Anang Suindro menggugat Pasal 169 ayat 1 huruf q UU Pemilu. Dia meminta agar batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden ialah 40 tahun dan batas maksimalnya ialah berusia 70 tahun.