UU Pemilu Digugat ke MK, Pemohon Minta Ada Syarat Capres-Cawapres Tak Punya Rekam Jejak Pelanggaran HAM

Senin, 18 September 2023 | 16:48 WIB
UU Pemilu Digugat ke MK, Pemohon Minta Ada Syarat Capres-Cawapres Tak Punya Rekam Jejak Pelanggaran HAM
Mahkamah Konstitusi (MK). [Suara.com/Peter Rotti]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda pembacaan pokok-pokok permohonan pengujian material Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan nomor perkara 102/PUU-XXI/2023.

Dalam sidang ini, kuasa hukum pemohon, Anang Suindro menjelaskan pentingnya UU Pemilu mengatur agar jejak rekam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dipertimbangkan dalam persyaratan calon presiden dan wakil presiden.

"Negara Indonesia harus dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang tidak memiliki rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia, penculikan aktivis, menghilangkan nyawa secara paksa, dan tindakan-tindakan yang kontradiktif terhadap demokrasi dan/atau antidemokrasi serta tindak pidana berat lainnya," kata Anang di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (18/9/2023).

Dia menjelaskan bahwa dalam pasal 7A UUD NRI 1945 mengatur tentang pemberhentian presiden dan wakil presiden apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan , dan tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela. Pasal tersebut juga mengatur perihal pemberhentian presiden dan wakil presiden bila terbukti tidak lagi memenuhi syarat.

Baca Juga: 3 Fakta Pertemuan SBY dan Prabowo, dari Dukungan Demokrat Hingga Bahas Cawapres

"Seharusnya ada upaya pencegahan dan/atau antisipasi yang diatur dalam persyaratan calon presiden dan wakil presiden dalam UU pemilu," ujar Anang.

Lebih lanjut, dia mengatakan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM mwngtur bahwa pelanggaran HAM berat terdiri dari genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Bahwa pasal 169 huruf d UU Pemilu pada klausul tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya menimbulkan kekaburan norma sehingga tidak terpenuhinya asas kepastian hukum pada pasal tersebut," ucap Anang.

Untuk itu, lanjut dia, UU Pemilu perlu memuat antisipasi dan pencegahan terpilihnya presiden dan wakil presiden yang memiliki rekam jejak terkait pelanggaran HAM berat.

"Harus diatur dan ditetapkan pada syarat calon presiden dan calon wakil presiden pada pasal 169 huruf d yang berbunyi tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, dan tindak pidana berat lainnya haruslah juga dimaknai sebagai tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, penculikan aktivis, penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti terhadap demokrasi serta tindak pidana berat lainnya," tandas Anang.

Baca Juga: PPP: Peluang Poros Baru Dipastikan Tertutup usai Demokrat Dukung Prabowo

Perlu diketahui, perkara ini dimohonkan oleh Wiwit Arianto, Rahayu Fatika Sari, dan Rio Saputro. Pada permohonan uji material UU Pemilu ini, pemohon meminta agar batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden tetap 40 tahun. Mereka juga meminta agar usia maksimal calon presiden dan calon wakil presiden ialah 70 tahun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI