Suara.com - Akademisi hukum pemilu di Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan partai politik segera memenuhi kuota minimal 30 persen bakal calon anggota legislatif (caleg) perempuan.
Hal itu disampaikan Titi setelah memenangkan gugatan uji materi atas Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 perihal cara penghitungan kuota calon anggota legislatif (caleg) perempuan di Mahkamah Agung (MA).
Titi mengatakan putusan MA tersebut mengabulkan petitum pihaknya sepenuhnya sehingga cara penghitungan kuota 30 persen caleg perempuan dari setiap partai politik (parpol) di setiap daerah pemilihan (dapil) harus menggunakan pendekatan pembulatan ke atas.
Dia menegaskan hal ini harus langsung diterapkan dalam Pemilu 2024 sehingga KPU dan parpol dinilai perlu segera memenuhi kuota minimal tersebut dengan menambah atau mengganti bakal caleg laki-laki dengan perempuan di dapil yang belum memenuhi 30 persen.
Baca Juga: Nekat Nyaleg Tanpa Partai, Berapa Harta Kekayaan Komeng?
Dia menegaskan, KPU dan parpol tidak bisa menghindar dari putusan tersebut dengan alasan Daftar Calon Sementara (DCS) sudah terlanjur ditetapkan.
Sebabnya, DCS masih bisa diubah karena Daftar Calon Tetap (DCT) baru akan ditetapkan pada 3 November 2023.
"Pengajuan penggantian calon sementara sedang berlangsung saat ini. Sehingga dari sisi waktu tidak ada alasan untuk mengelak dari pelaksaan Putusan MA ini," kata Titi kepada wartawan, Kamis (31/8/2023).
Titi meminta KPU mematuhi putusan MA tersebut dan memastikan melakukan hal serupa. Bila parpol tidak melaksanakannya, lanjut dia, parpol tersebut bisa didiskualifikasi sebagai peserta pemilu di dapil yang jumlah caleg perempuannya tidak mencapai 30 persen.
"KPU akan merusak kepercayaan publik kalau sampai melanggar putusan MA. Legitimasi dan konstitusionalitas pemilu legislatif 2024 taruhannya," ujar anggota pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.
Baca Juga: Para Keluarga Pejabat yang Nyaleg di Pemilu 2024, Anak Puan hingga Mantu Wapres
Sebelumnya, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menyatakan sebanyak 9.919 nama bakal caleg DPR dalam DCS tidak perlu diganti. Sebab, dia menilai jumlah bakal caleg perempuan di daftar calon partai politik untuk setiap dapil sudah melampaui persentase 30 persen.
"Sesungguhnya kalau kita cek satu per satu, masing-masing partai politik per dapil, keterwakilan perempuan yang diusulkan itu sudah mencukupi, melampaui 30 persen. Itu sudah KPU umumkan dalam DCS, bisa kita cek masing-masing," ucap Hasyim, Selasa (29/8/2023).
Diketahui, MA mengabulkan permohonan judicial review terhadap Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 tahun 2023 mengenai perhitungan pembulatan jumlah keterwakilan perempuan.
Permohonan itu diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mantan Anggota KPU Hadar Nafis Gumay, Akademisi Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini, dan Eks Anggota Bawaslu Wahidah Suaib.
"Mengabulkan permohonan keberatan dari para pemohon keberatan," demikian bunyi amar putusan MA, dikutip Rabu (30/8/2023).
Adapun perkara 24 P/HUM/2023 ini diputus oleh Ketua Majelis Irfan Fachruddin dengan Hakim Anggota Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi.
Sebagai informasi, para pemohon mengajukan judicial review terhadap Pasal 8 Ayat (2) PKPU 10/2023 ke Mahkamah Agung. Hal itu dilakukan karena mereka menilai KPU telah ingkar janji setelah sempat menyatakan bakal merevisi pasal 8 pada aturan tersebut mengenai keterwakilan perempuan.
"Setelah ditunggu beberapa lama, KPU tidak menepati janjinya untuk merevisi peraturan KPU. Maka, tidak ada pilihan lain selain mengajukan uji materi terhadap peraturan KPU ke Mahkamah Agung," kata Peneliti Perludem Fadhil Ramadhanil di depan Gedung MA, Jakarta Pusat, Senin (5/6/2023).