Suara.com - Pakar Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menyebut partai politik lemah dan tidak mandiri karena berlakunya presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen.
Menurutnya, presidential threshold sangat tidak relevan, tidak signifikan, dan tidak urgen untuk dilakukan dalam pilpres. Terlebih, dia menyebut presidential threshold tidak memiliki landasan hukum yang jelas.
"Ternyata, setiap pemilu atau pilpres datang, maka kerumitan terjadi. Partai-partai, tidak hanya partai menengah dan kecil, tetapi partai besar pun mumet dia. Ruwet karena harus melakukan koalisi," kata Siti dalam diskusi yang digelar Partai Buruh di Gedung Juang 45, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).
Dia merasa, masyarakat Indonesia sedang tidak beruntung lantangan presidential threshold 20 persen masih akan berlaku pada Pilpres 2024.
Baca Juga: Pakar Hukum Tata Negara Sebut Presidential Threshold Disalahartikan Partai Politik
Padahal, lanjut dia, presidential threshold yang diatur pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah digugat sebanyak 30 kali ke Mahkamah Konstitusi.
"Kita sudah usaha luar biasa dan kalau lihat judicial review diusulkan semua lapisan masyarakat Indonesia, bahkan yang berdiaspora, tapi KO dia, kalah," ucap Siti.
Lebih lanjut, dia mengatakan adanya presidential threshold ini menyulitkan bagi partai politik, termasuk partai-partai besar karena harus mencari koalisi yang matang untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
"Baru kali ini kita bisa menyaksikan partai-partai politik tidak percaya diri untuk membangun koalisi tambahkan untuk mengusung calon-calonnya sendiri," ucap Siti.
"Dengan dipayungi konstitusi, seharusnya itu ada independensi dan ada rasa percaya diri yang kuat tapi kok ini tidak. Kok ya nunggu cawe-cawe. Hahaha. Ini yang membuat jengkel kita. Partai ya jangan letoy begitu," katanya diselingi dengan tawa.
Baca Juga: Ketua PP Muhammadiyah Usul Presidential Threshold Diturunkan Agar Capres Makin Banyak
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan bahwa tidak ada istilah ambang batas pencalonan presiden pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Namun, dia mengatakan, ada istilah presidential threshold dalam UUD 1945. Menurutnya, istilah presidential threshold kemudian disalahartikan oleh partai politik.
"Arti presidential threshold adalah ambang batas kemenangan seorang calon presiden menjadi presiden, di mana diatur dalam Pasal 6 a Ayat 3 UUD 1945," kata Feri dalam diskusi yang digelar Partai Buruh di Gedung Juang 45, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin (31/7/2023).
Dengan demikian dalam UUD 1945, seseorang bisa menang menjadi presiden dalam putaran pertama dengan catatan memperoleh suara 50 persen lebih dengan sebaran setengah jumlah provinsi.
"Itu namanya ambang batas kemenangan seseorang menjadi presiden alias presidential threshold," tegas Feri.
Lebih lanjut, dia mengatakan penggunaan istilah presidential threshold menjadi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden sebagai upaya menipu rakyat.
Sebab, Pasal 6a Ayat 2 UUD 1945 disebut memberikan hak konstitusional kepada partai politik atau gabungan partai politik untuk bisa mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.
"Artinya, partai apapun atau gabungan partai politik apapun berhak mengajukan calon presiden atau wakil presiden sebelum pemilu," ujar Feri.