Suara.com - Lembaga The Indonesian Institute (TII) menyoroti persoalan maraknya baliho, spanduk, poster partai politik dan calon anggota legislatif atau caleg di jalan-jalan raya. Termasuk aksi sosialisasi diri para caleg di media sosial.
"Hal ini menandakan lemahnya pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, baik oleh KPU dan Bawaslu,” papar Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, dalam di Jakarta, Kamsi (27/7/2023).
Arfianto mengatakan ada ketimpangan antara partai politik yang memiliki sumber daya besar dengan partai politik yang kurang memiliki sumber daya. Di satu sisi, ada partai yang telah memasang alat peraga cukup besar. Namun, ada pula partai politik yang tidak memiliki logistik besar, tidak memasang alat peraga.
Selain itu, dalam kajian kebijakan tengah tahun ini, TII mengangkat topik “Sosialisasi Peserta Pemilu dalam Kerangka Implementasi Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum Jelang Pemilu 2024”. Ada sejumlah persoalan dalam implementasi PKPU Nomor 33, seperti adanya perbedaan antara kebijakan yang tertulis dengan implementasi kebijakan yang diambil oleh penyelenggara.
Baca Juga: Lagi Disorot Gegara Diduga Main Judi Slot Saat Rapat, PDIP Sebut Cinta Mega Tak Nyaleg Lagi di 2024
Lucius Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang juga hadir sebagai pembicara mengatakan sosialisasi tidak diakomodasi dalam PKPU sebagai tahapan pemilu. Di situ adalah letak ironisnya karena masa-masa sebelum kampanye resmi tidak diberi nama. Sedangkan, banyak calon peserta Pemilu yang sudah melakukan 'kampanye', walaupun secara resmi tidak diakui.
Seharusnya apabila KPU ingin mencantumkan sosialisasi sebagai salah satu tahapan Pemilu, harus juga diakomodasi dalam PKPU dan diatur secara jelas.
"Sangat disayangkan ada waktu yang sangat lama, namun tidak diatur. Tidak heran apabila kemudian banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di jalan. Misalnya, spanduk-spanduk besar yang menyampaikan visi-misi partai, program yang akan dijalankan hingga citra diri,” kata Lucius.
Pembicara berikutnya, Mahretta Maha, dari Departemen Pelatihan dan Pendidikan PPUA Disabilitas mengatakan sosialisasi Pemilu yang ramah disabilitas sudah sering dilakukan oleh lembaga penyelenggara Pemilu. Namun, sayangnya belum melibatkan organisasi penyandang disabilitas. Hal ini penting dilakukan karena menurutnya yang paling tahu tentang kelompok disabilitas adalah teman-teman disabilitas itu sendiri.
“Materi-materi yang disampaikan ketika ada diskusi dengan teman-teman disabilitas juga harus disampaikan dengan cara yang mudah dipahami disabilitas. Menggunakan bahasa yang tidak sulit,” kata Retta.
Baca Juga: Temui Airlangga Hartarto, Puan Maharani Diberi Bunga Politik
Menanggapi diskusi, Hendika Ferdinandus, Kepala Sub Bagian Teknis Kampanye KPU RI menyatakan KPU sudah meregulasi adanya proses sosialisasi untuk internal partai sebelum masa kampanye dibuka. Hal tersebut sudah termasuk apa saja yang boleh disampaikan dalam masa tersebut.
Misalnya, seperti visi misi partai, materi, dan lain-lain. KPU pun telah mengatur pelarangan penyampaian citra diri dan program dengan alat peraga kampanye apapun.
Menutup acara diskusi, seluruh pembicara berharap kampanye Pemilu 2024 tidak kembali dipenuhi informasi bohong dan ujaran kebencian. Oleh karena itu, perlu mendorong penyelenggara dan peserta Pemilu untuk mengedepankan kampanye yang informatif, edukatif dan inklusif.