Suara.com - Keberadaan fatwa haram soal politik uang dalam Pemilu dinilai belum masif disampaikan kepada khalayak ramai. Lantaran itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar lebih masif menyampaikan hal tersebut.
Permintaan itu dikatakan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja seperti disampaikannya di Kantor Bawaslu, Jakarta pada rabu (21/6/2023).
"Fatwanya sudah ada. Hanya saja, fatwa ini kurang disebarkan di ceramah, di khotbah," ujarnya.
Bagja mengungkapkan, sosialisasi fatwa haram tersebut kepada umat Islam di Tanah Air menjadi salah satu ikhtiar menekan potensi pemanfaatan politik uang di tengah pelaksanaan Pemilu 2024.
Untuk memasifkan hal tersebut, Bawaslu berencana akan segera berkoordinasi dengan MUI untuk memasifkan sosialisasi dengan fatwa tersebut.
Sementara itu, Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh menyambut baik keinginan Ketua Bawaslu tersebut. Ia berjanji akan menyosialisasikan kembali fatwa politik uang haram kepada umat Islam di Indonesia.
Menurutnya sosialisasi fatwa haram tersebut menjadi tanggung jawab ulama dalam mendukung hadirnya demokrasi yang berkualitas.
"Fatwa itu ditetapkan sebagai wujud tanggung jawab sosial keulamaan dalam mewujudkan demokrasi yang berkualitas," ujar Niam ketika dikonfirmasi Antara.
Untuk diketahui, fatwa mengenai politik uang itu telah ditetapkan berdasarkan Musyawarah Nasional VI MUI pada 23-27 Rabi’ul Akhir 1421 Hijriah atau 25–29 Juli 2000 dengan pembahasan tentang suap (risywah), korupsi (ghulul), dan hadiah kepada pejabat.
Dalam musyawarah itu, MUI menegaskan bahwa suap, uang pelicin, politik uang, dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah, apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
Baca Juga: Ketua Bawaslu Tegaskan Laporan Politik Uang Harus Bisa Dibuktikan
Kemudian, MUI lantas menyepakati hukum memberikan risywah dan menerimanya adalah haram. (Antara)