Suara.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) merasa bahwa dirinya boleh cawe-cawe atau ikut campur dalam kompetisi politik demi kepentingan bangsa dan negara, serta tidak menyimpang dari konstitusi. Ia juga mengaku jika langkah itu bertujuan agar pembangunan bisa dilanjutkan meski ada perubahan kepemimpinan.
"(Saya) Cawe-cawe untuk negara, untuk kepentingan nasional. Saya cawe-cawe dalam arti positif, masa tidak boleh? Masa tidak boleh berpolitik? Tidak ada konstitusi yang dilanggar. Untuk negara ini, saya bisa cawe-cawe," ujar Jokowi ketika menemui sejumlah pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (29/5/2023).
Jokowi sebelumnya disebut-sebut mengendorse bakal calon presiden (Bacapres) Partai Gerindra, Prabowo Subianto dengan mengajaknya ke beberapa agenda kunjungan. Dalam sebuah acara pada November 2022, ia juga menyinggung soal sosok pemimpin berambut putih.
Istilah cawe-cawe pun mulai disematkan kepada orang nomor satu di Indonesia itu. Namun, apa yang dilakukan Jokowi rupanya dianggap salah oleh sejumlah pihak. Lantas, apakah seorang presiden boleh mendukung kandidat capres tertentu?
Baca Juga: Sebut Ada Musuh Dalam Selimut, Adian Napitupulu: Pak Presiden Biayai Lawan Sendiri
Apakah Presiden Boleh Mendukung Kandidat Capres?
Sistem hukum di Indonesia tidak melarang presiden, wakil presiden, atau kepala daerah yang ingin memberikan dukungan terhadap kandidat capres dan cawapres tertentu.
Dukungan ini dilarang jika diberikan lembaga peradilan, personel BUMN/BUMD, BPK, dan Bank Indonesia hingga pejabat negara non-struktural, ASN, TNI, Polri, serta perangkat desa.
Meski begitu, mendukung capres dan cawapres juga harus sesuai porsinya. Jika kandidat telah sudah terdaftar sebagai jabatan terkait pada penyelenggaraan pemilu, maka segala jenis endorsement bisa dianggap kampanye.
Berdasarkan ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, memakai fasilitas pemerintah, tempat ibadah, serta tempat pendidikan adalah bentuk-bentuk pelanggaran kampanye.
Baca Juga: Bantah Isu Kontrak Politik Ganjar dan Megawati, Bambang Pacul PDIP: Kok Kayak Karyawan Kerja Aja
Maka dari itu, presiden perlu memperhatikan segala bentuk narasi yang akan diucapkan saat memberikan sambutan di hadapan publik. Jika isinya soal dukungan terhadap kandidat capres dalam forum resmi pemerintah, ia bisa dibilang melanggar aturan.
Di sisi lain, presiden sebagai orang nomor satu di sebuah negara, tak diperkenankan meminta publik mendukung capres dan cawapres tertentu. Mengingat rakyat memiliki hak untuk memutuskan pilihannya sendiri.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi & Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (PaKem) FH-UMI, Fahri Bachmid pun menilai bahwa presiden yang mendukung capres, tidak salah. Selama, tidak ada atribut kepresidenan di dalamnya.
Lebih lanjut, Fahri mengatakan bahwa dukungan dapat menjadi terlarang jika melanggar Pasal 547 UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Di mana pejabat yang melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye, akan dihukum maksimal 3 tahun penjara.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari juga menyebut jika apa yang dilakukan Jokowi itu tak salah. Namun, ia mengkriik manuver politik sang presiden. Hal ini, menurutnya bisa membuat pemilu tidak kondusif karena ada keberpihakan yang ditonjolkan.
Kontributor : Xandra Junia Indriasti