Suara.com - Bahasan terkait wacana Pemilu sistem proporsional tertutup seperti tak ada habisnya. Adapun kini muncul isu bahwa seorang praktisi hukum kondang mengantongi informasi bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) memberi lampu hijau terkait wacana Pemilu 2024 dilakukan dengan sistem proporsional tertutup alias rakyat hanya memilih gambar partai, bukan nama caleg.
"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," ketik Denny di caption unggahan Instagram pribadinya, @dennyibdrayana, Minggu, (28/5/2023).
Menjawab bola api pengakuan Denny tersebut, MK melalui juru bicaranya, Fajar Laksono mengungkap bahwa pihaknya bahkan belum mengadakan pembahasan terkait sistem Pemilu di 2024 mendatang.
Plus minus Indonesia kembali terapkan Pemilu sistem proporsional tertutup
Baca Juga: Begini Spesifikasi Kotak Suara di Pemilu 2024
Lantas, mengapa pengakuan Denny sebegitu berpengaruh membuat publik riuh? Apakah sistem proporsional tertutup membuat Indonesia merugi?
Pengamat politik Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi kepada wartawan membeberkan untung-rugi yang diterima Indonesia ketika sistem proporsional tertutup kembali dicanangkan seperti di masa lalu.
Airlangga mengungkap bahwa ternyata sistem ini memiliki kerugian yang lebih besar ketimbang keuntungannya.
Bagi Airlangga, sistem proporsional tertutup itu ingin membangun kembali kekuatan otoritas politik berbasis partai yang menentukan proses-proses politik yang berlangsung.
Dalam artian yang sederhana, partai politik yang nantinya akan memilih kadernya, ketimbang rakyat yang memilih sendiri dari beberapa pilihan tokoh politik yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif atau caleg.
Baca Juga: Catatan Tebal Kontroversi Denny Indrayana, Kini Bocorkan Isu MK Ubah Sistem Pemilu 2024
Airlangga mengamati sistem proporsional terbuka membuat partai alih-alih menjadi wadah penguatan politik justru menjadi tempat berjamurnya benturan internal.
Airlangga juga mengungkap sistem ini membuat politik uang lebih marak, lantaran para politisi di dalam kader berlomba-lomba untuk menghimpun sumber daya sehingga akan mengungguli pesaingnya di partai politik yang sama.
Pakar politik tersebut juga menegaskan pertarungan politik lebih mengedepankan pertarungan individu daripada partai sehingga memperoleh kesimpulan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka lebih baik.
Mengingat kembali pemilu sistem proporsional terbuka di masa Orba
Terkait dengan apa yang dipaparkan Airlangga, kita bisa menilik kembali penyelenggaraan Pemilu di masa Orde Baru alias Orba.
Mengutip buku Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2021 karya Muhammad Nizar Kherid, sistem ini digunakan di Orde Baru dan dianggap tidak demokratis dan memunculkan hegemoni parpol yang sangatlah besar.
Pasalnya, hubungan partisipasi dan apresiasi publik semakin sempit lantaran tidak punya kuasa untuk memilih anggota legislatif.
Kontributor : Armand Ilham