Suara.com - Wacana koalisi besar yang didengungkan partai-partai propemerintah menjelang Pemilu 2024 mendatang kian menguat. Niat menyatukan dua koalisi yang sudah ada, yakni Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) pun mulai mengarah.
Menurut Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana, kebutuhan untuk membentuk koalisi besar tersebut menjadi kebutuhan yang jelas nyata.
"Kebutuhan koalisi besar ingin dilakukan atas beberapa dasar pertimbangan, pertama perlunya calon presiden dan wakil presiden yang dapat melanjutkan agenda pembangunan Pak Jokowi di periode berikutnya," kata Aditya Perdana seperti dikutip Antara pada Sabtu (8/4/2023).
Selain persoalan keberlanjutan agenda pembangunan Pemerintahan Jokowi, kebutuhan lainnya yakni memenangkn Pilpres dengan bertumpu pada elektabilitas capres serta cawapres yang tinggi.
Baca Juga: Mau Bahas Koalisi Besar, Ketum PAN Zulhas Tiba di Kediaman Ketum Gerindra Prabowo
Dasar kebutuhan tersebut, bertujuan agar peluang pelaksanaan pilpres hanya dilakukan satu putaran saja yang bermuara untuk efisiensi anggaran pemilu.
Kemudian faktor capres dan cawapres dalam penentuan dan kepastian koalisi besar menjadi penting.
Ia mengemukakan, tak mudah mencocokkan figur capres dan cawapres dengan peluang keterpilihan yang baik berdasarkan hasil banyak survei yang ada.
Aditya mencontohkan, jika posisi Puan Maharani sebagai capres yang disandingkan cawapres siapa pun, tidak mudah untuk meningkatkan peluang kemenangan koalisi karena elektabilitas Puan relatif rendah.
Pun serupa dengan Airlangga Hartarto yang juga memiliki posisi yang tidak menguntungkan.
Baca Juga: Jokowi Disebut Mau Gertak PDIP Agar Ganjar Diusung, jika Tidak Bakal Dijagokan Koalisi Besar
Sementara, peluang Ganjar disandingkan dengan cawapres siapa pun yang populer, tentu punya peluang bagus karena elektabilitas Ganjar tinggi.
Namun, di internal PDIP belum ada putusan dari kedua nama tersebut yang akan resmi dicalonkan.
Padahal, PDIP juga memposisikan dirinya sebagai faktor penting nanti apabila bergabung.
Selanjutnya yang tak kalah menarik juga, yakni ada keterkaitan dengan endorsement yang dilakukan Presiden Jokowi terhadap calon tertentu dalam kerangka koalisi besar tersebut.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa pemilih merasa endorsement yang sedang dilakukan presiden tidak serta merta akan 100 persen diikuti oleh pemilih.
Sebaliknya, mereka bakal menimbang juga kapasitas dan rekam jejak calon hingga akhirnya dalam konteks itu, endorsement bukan pertimbangan utama pemilih.
Meski begitu, ia mengungkapkan koalisi besar dapat terwujud, tetapi tidak mudah jalannya, karena di dalam koalisi ada banyak dinamika yang tentu harus diselesaikan.