Suara.com - Perang dingin antara Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan PDIP dan Megawati Soekarnoputri dianggap masih terus berlanjut. Salah satu gambarannya terlihat dari absenya perwakilan PDIP dalam Silaturahmi Ramadan di DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Minggu kemarin.
Disinyalir perang dingin itu berkaitan dengan politik 2024. Jokowi yang merupakan kader PDIP dinilai ogah tunduk dengan apa kata Megawati yang merupakan ketua umum.
Presiden memiliki pandangan tersendiri menyoal Pilpres. Pandangan ini yang belum tentu selaras dengan yang diinginkan Megawati.
Direktur Eksekutif Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah melihat ada upaya Jokowi untuk melepaskan diri dari bayang-bayang pengaruh Megawati. Jokowi ingin menunjukan tajinya sendiri sebagai king maker pada Pilpres mendatang.
Baca Juga: Absen Saat Jokowi Kumpul dengan Lima Ketum Parpol, PDIP Tak Merasa Ditinggalkan
"Ya tentu saja, ia ingin lepas dan miliki pengaruhnya sendiri," kata Dedi dihubungi, Senin (3/4/2023).
Menurut Dedi, keinginan Jokowi lepas dari pengaruh Megawati sudah tampak sejak lama. Meski Jokowi membantah tidak punya urusan dalam pembentukan koalisi, namun pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dipandang Dedi sebagai bentuk perlawanan dari Jokowi kepada PDIP.
"Sekaligus menjadi ruang kekuasaan Jokowi lepas dari PDIP, dan PDIP tahu, itulah sebab Jokowi mendapat teguran misalnya pada saat Rakernas PDIP hingga beberapa pidato Megawati yang menghardik kader untuk tidak bermanuver, itu ditujukan pada Jokowi," tutur Dedi.
Siasat Jokowi lepas dari pengaruh Megawati tidak sampai di situ. Lebih dari membentuk koalisi, Jokowi kekinian semakin terang benderang menunjukan kesan memberi endorse atau dukungan untuk Prabowo Subianto maju sebagai calon presiden 2024.
"Ini menguatkan dukungan Jokowi ingin ada kekuatan besar yang bisa kalahkan PDIP, atau hilangkan pengaruh Megawati," kata Dedi.
Baca Juga: Gibran Mendadak Temui Ganjar Pranowo di Semarang, Apa yang Dibahas?
Tidak cuma untuk kalahkan Megawati, langkah Jokowi mendukung Prabowo sekaligus sebagai ancang-anang mengalahkan rivalitas dengan Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan.
Mega dan Paloh Absen
Direktur Eksekutif Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah melihat banyak kemungkinan terjadi di balik absennya Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri maupun perwakilannya dalam acara Silaturahmi Ramadan yang digelar DPP PAN, Minggu kemarin.
Pasalnya acara yang dihadiri Presiden Jokowi itu sejatinya menghadirkan pula para ketua umum partai di koalisi pemerintah. Tetapi lantaran ketidakhadiran Megawati dan Ketua Umum NasDem Surya Paloh, pertemuan itu terkesan hanya antara Jokowi dan dua koalisi, yakni Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Mengingat para ketua umum yang hadir adalah para ketua umum di dua partai koalisi tersebut.
Menakar absennya PDIP, Dedi melihat ada sebab dua hal politis. Pertama, pertemuan itu membahas PDIP terkait penolakannya pada peserta Israel di Piala Dunia U20. Di mana program itu potensial menjadi harapan unggulan Jokowi untuk menguatkan simpati publik yang dalam gelaran internasional.
"Masih terasa sisa keberhasilan Formula E yang digelar Anies Baswedan melalui Pemprov DKI Jakarta, terlebih gelaran Superboat di Toba juga tidak begitu kuat gaungnya. Sehingga, PDIP menjadi pembahasan tentu karena faktor kadernya menolak cukup kuat," tutur Dedi.
Sebab kedua, absennya PDIP dalam pertemuan ketum parpol dengan presiden itu menunjukkan perkembangan konflik internal antara Jokowi dan PDIP yang masih berlanjut. Jokowi dianggap ingin melepaskan pengaruh Megawati dan PDIP perihal arah dukungan politik ke depan.
"Meskipun beberapa waktu lalu sempat menemui Megawati dan Puan Maharani, bisa saja Jokowi masih enggan patuh pada PDIP utamanya terkait arah dukungan politik 2024. Ditambah dengan absen ya Nasdem maka menguatkan dugaan jika pertemuan itu memungkinkan membahas soal sikap PDIP dan imbas ke Pemilu 2024," kata Dedi.
Dedi menilai pernyataan Jokowi yang berujar tidak perlu saling menyalahkan dalam pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah tidak terlepas dari penolakan PDIP atas Timnas Israel. Menurut Dedi sikap Jokowi bisa saja berbeda apabila penolakan itu datang dari NasDem, yang kini sudah membentuk Koalisi Perubahan bersama Demokrat dan PKS.
"Karena tentu kelompok penolakan ada pada pihaknya, andai kelompok menolak di wilayah koalisi NasDem, sangat mungkin Jokowi memprovokasi publik untuk mengekspresikan kekecewaan secara mengemuka," kata Dedi.
Alihkan Dukungan dari Ganjar
Jokowi menyatakan pusing selama dua pekan gara-gara mengurus persoalan sepak bola tanah air, seiring pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Membaca pernyataan Jokowi itu, Dedi Kurnia Syah menilai ada kemarahan besar dari orang nomor satu di Indonesia.
Kemarahan ini yang akan berimbas terhadap arah politik. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menjadi sasarannya.
Menurutnya kemarahan Jokowi bisa berimbas terhadap pencalonan Ganjar sebagai presiden pada 2024. Diketahui Ganjar belakangan memang disebut-sebut mendapat dukungan dari Jokowi, namun itu bisa saja dulu dan situasi saat ini berbeda.
Sejak FIFA mencoret Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, banyak mata menyoroti Ganjar. Hal ini tidak terlepas dari pernyataan Ganjar yang menolak kehadiran Timnas U-20 Israel bermain di Indonesia. Pernyataan ini yang kemudian dinilai ikut berperan dalam batalnya Indonesia sebagai tuan rumah.
"Statement Jokowi terbaru jelas menunjukkan kemarahannya, dan ini jelas berisiko bagi Ganjar," kata Dedi.
Dedi melihat Jokowi yang sebelumnya dilema antara mendukung Ganjar atau Prabowo, kini lebih leluasa. Jokowi dinilai akan condong mendukung Prabowo pada 2024. Terlebih jika melihat kebersamaan Jokowi -Prabowo dalam beberapa kesempatan.
"Bisa saja dukungan Jokowi bisa secara penuh ke Prabowo. Ganjar bisa saja akan kehilangan dua hal, ia belum tentu mendapat keterusungan PDIP, juga potensial ditinggalkan Jokowi," ujar Dedi.