Suara.com - Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic), Ahmad Khoirul Umam membedah calon wakil presiden berlatar belakang Nahdliyin yang cocok untuk Anies Baswedan. Ia menyebu sejumlah nama tokoh kultural Nahdliyin.
Tokoh yang dimaksud mulai dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Menkopolhukam Mahfud MD, hingga Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Khusus Muhaimin dan Mahfud, Umam menilai keduanya belum memiliki elektabilitas yang memadai. Terlebih Mahfud yang tidak memiliki kendaraan politik riil di parelmen, beda halnya dengan Muhaimin atau Cak Imin.
Sementara, untuk mendorong Khofifah menjadi cawapres Anies bukan perkara mudah. Ada sejumlah hal yang menjadi hambatan apabila Koalisi Perubahan nekat memasangkan Anies dengan Khofifah.
Baca Juga: Kecewa FIFA Batalkan Indonesia Jadi Tuan Rumah, Gagal Wujudkan Mimpi Timnas U-20
Selain karena tidak memiliki partai pengusung, Khofifah disebut-sebut memiliki kendala berupa isu hukum.
"Yang berpotensi menjegal dirinya jika memaksakan diri berlaga di kontestasi nasional," kata Umam dalam keterangannya, Jumat (31/3/2023).
Di sisi lain, predikat "sponsor utama" pencapresan Anies juga bisa menjadi batu sandungan bagi NasDem apabila mendorong Khofifah sebagai cawapres. Sebabnya, PKS dan Demokrat tidak berkesempatan ikut andil dalam menentukan pasangan capres-cawapres.
Jauh sebelum menyerahkan urusan cawapres ke Anies, baik PKS dan Demokrat kukuh mengusulkan nama kader terbaik mereka sebagai pendamping. Mulai dari Wakil Ketua Majelid Syura PKS Ahmad Heryawan atau Aher hingga Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
"Hal itu berpotensi melukai Demokrat dan PKS. Artinya tidak ada kesetaraan dalam koalisi karena seolah hak politik Demokrat dan PKS diambil alih dan dikendalikan penuh oleh NasDem," kata Umam.
Baca Juga: Golkar Pastikan Manuver JK Usul Nama Cawapres ke Anies di Luar Langkah "Beringin"
Dosen Ilmu Politik dan International Studies, Universitas Paramadina ini turut mencermati kehadiran Erick Thohir di tengah keluarga Nahdlatul Ulama dan Nahdliyin. Tetapi, Umam tidak melihat Erick memiliki basis dukungan yang kuat.
"Mengingat model pendekatannya terkesan dipaksakan dan dinilai transaksional maka realisasi dukungan Nadliyyin terhadap Erick jika maju di Pilpres 2024 tampaknya masih agak terbatas," tuturnya.
Umam berujar mencermati kalkulasi nama-nama potensial di atas, tokoh kultural Nahdliyin yang tersisa untuk mendampingi Anies, salah satunya ialah AHY. Diketahui putra sulung Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini belakangan sering diperbincangkan di lingkaran Koalisi Perubahan.
"Jika mencermati 5 kriteria Anies, lalu kedekatan politik dengan basis Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk dengan komunitas Nahdliyyin, memang AHY tergolong masih cukup kompetitif untuk menjadi Cawapres Anies," ucapnya.
Menurut Umam, latar belakang AHY sebagai mantan perwira muda TNI juga bisa dikapitalisasi oleh Anies sebagai untuk menetralisir tudingan-tudingan dari lawan politik terkait narasi politik identitas.
Umam memandang komposisi Anies-AHY juga berpeluang mampu mengkonsolidasikan basis pemilih muda, pemilih perempuan, relatif bersih dari catatan hukum yang bisa dipolitisasi, dan yang terpenting, lebih kuat merepresentasikan karakter perubahan.
"Dengan mencermati poin-poin kalkulasi politik tersebut, maka besar kemungkinan Anies akan memilih AHY untuk menjadi cawapresnya guna melaju ke Pilpres 2024 mendatang."