Menakar Taji Partai Politik Berbasis Islam di Pemilu 2024

Erick Tanjung Suara.Com
Jum'at, 24 Maret 2023 | 17:38 WIB
Menakar Taji Partai Politik Berbasis Islam di Pemilu 2024
Ilustrasi tujuh partai politik berbasis Islam peserta Pemilu 2024. [Suara.com/Iqbal]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar dunia. Menurut data World Population Review yang dirilis pada 2021 lalu, sekitar 87 persen atau 231 juta penduduk Indonesia memeluk agama Islam.

MAYORITAS muslim itu ternyata tidak berbanding lurus dengan pilihan politik masyarakatnya. Partai politik berbasis Islam faktanya tidak mendapatkan suara lebih banyak dibanding partai politik lain, seperti partai nasionalis. Bahkan dukungan kepada partai politik berbasis Islam diprediksi menurun pada Pemilihan Umum 2024 mendatang.

Menurut survei Lingkaran Survei Indonesia Denny Januar Ali atau LSI Denny JA, partai politik berbasis Islam hanya mampu menembus papan tengah di daftar elektabilitas partai politik. Keduanya yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan tingkat elektabilitas 8,0 persen dan 4,9 persen.

Sementara di papan bawah, bertengger Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan nilai elektabilitas 2,8 persen dan 1,9 persen.

Baca Juga: Datangi Jokowi di Istana, Puan Ajak Bicara Soal Bagaimana Pemilu Bisa Terlaksana Tepat Waktu

Lebih jauh lagi, kita akan menemukan partai basis Islam macam Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Ummat dan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) yang hanya mampu memperoleh elektabilitas di bawah 1 persen.

Di posisi tiga teratas diduduki partai politik berhaluan nasionalis seperti DPI Perjuangan yang mendulang elektabilitas 22,7 persen. Di bawahnya ada partai Golkar dengan tingkat elektabilitas 13,8 persen serta partai Gerindra dengan nilai 11,2 persen.

Tak hanya urusan elektabilitas, dalam data yang dipaparkan oleh LSI Denny JA, kans partai politik Islam dari tahun ke tahun juga cenderung menurun. Yang paling parah tercatat pada Pemilu 2009, di mana 70,8 persen pemilih cenderung lebih memilih partai politik berideologi nasionalis dibanding partai politik berbasis Islam.

Tujuh partai berbasis Islam peserta Pemilu 2024. (bidik layar)
Tujuh partai berbasis Islam peserta Pemilu 2024. (bidik layar)

Sepanjang sejarah Pemilu sejak 1995, perolehan suara pemilih partai politik berbasis Islam rupanya juga tidak pernah lebih besar dibandingkan dengan partai politik berhaluan nasionalis. Jika dijumlahkan, partai politik berbasis Islam hanya mampu memperoleh elektabilitas sebesar 35 persen.

Angka tersebut masih diperkirakan bakal terus menurun pada Pemilihan Umum 2024. Tak tanggung-tanggung, pada tahun itu diperkirakan potensi dukungan terhadap partai politik berbasis Islam akan menjadi titik terendah sepanjang sejarah pemilihan umum. Bahkan angka dukungannya tidak sampai 20 persen dari total jumlah pemilih.

Baca Juga: Pertemuan Serba '2', Puan dan Jokowi Bahas Pemenangan Pemilu 2024 di Istana Kepresidenan Jakarta

Direktur CPA-LSI Denny JA, Ade Mulyana mengatakan salah satu biang merosotnya elektabilitas partai politik berbasis Islam ialah tidak adanya sosok calon presiden yang dijagokan maju berlatar belakang dari pesantren. "Sejak pemilihan presiden pilihan langsung 2004, tidak ada calon presiden yang kuat berlatar santri. Bahkan Amien Rais di tahun 2004, tersisih di putaran pertama," kata Ade dalam keterangannya, Jumat, 17 Maret lalu.

Di sisi lain, partai berideologi nasionalis justru memiliki calon presiden yang lebih eksis di mata publik. Ambil contoh seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari partai Demokrat, Joko Widodo dari PDI Perjuangan serta Prabowo Subianto dari partai Gerindra.

Ade mengungkapkan, rendahnya potensi dukungan terhadap partai politik berbasis massa Islam bukan disebabkan kemunculan partai-partai baru yang ada saat ini.

Justru, ia menariknya ke belakang, yakni dari sejarah politik Indonesia, terutama di era Orde Baru. Selain itu, beberapa faktor penunjang lainnya yang membuat suara partai berbasis agama juga ikut tergerus. "Penyebab utama partai Islam suaranya terpuruk adalah depolitisasi Islam yang berhasil di era Orde Baru. Lalu tidak adanya capres yang berlatar belakang santri yang kuat, dan tidak adanya inovasi dari partai islam yang dapat mendongkrak suara mereka," ujarnya.

Survei bertajuk 'Mengecilnya Partai Berbasis Islam' ini dilakukan dengan metode multistage random sampling dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang. Data dikumpulkan sejak 4 Januari hingga 14 Januari 2023. Teknik pengumpulan datanya melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner dengan margin of error ± 2,9 persen.

Berebut Pasar Pemilih

Ade juga menilai partai politik nasionalis mempunyai suatu keunggulan yang tidak dimiliki oleh partai berbasis Islam yakni terbuka dengan segmentasi pemilih yang lebih luas. "Partai nasionalis cenderung mempunyai logistik yang lebih besar dibanding partai Islam," terang Ade kepada Suara.com, Rabu, 22 Maret.

Senada dengan Ade, pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai partai Islam semestinya harus membuka keran bagi para pemilih non-Muslim, seperti warga Kristiani, Budha, Hindu, Konghucu atau komunitas penghayat lainnya. "Artinya di sini tidak terlalu kaku untuk menjadikan Islam sebagai alat politik, kasusnya kalau masih seperti itu ya agak sulit untuk bisa menampung pemilih yang non-Muslim," ujar dia.

Di samping itu, dia berpandangan partai politik berbasis Islam kerap berada di luar pemerintah dan melempar kritik-kritik pedas. Namun kritik tersebut tidak diimbangi dengan solusi atas permasalahan.

Terlebih, menurut Wasisto, belakangan sudah terjadi pergeseran pemilih partai politik berbasis Islam. Pada Pemilu 1999 hingga Pemilu 2009, mayoritas pemilih partai Islam berasal dari kalangan Nahdliyin atau warga Nahdlatul Ulama.

Di rentang tahun 2009 sampai 2014, para pemilih partai Islam didominasi dengan pemilih beraliran Islam populis. "Itu memang menguntungkan Partai Keadilan Sejahtera dalam hal ini," ungkap Wasisto.

Bukan tanpa kendala, pemilih Islam populis kini tidak lagi dihadapkan pada pilihan tunggal. Wasisto menyebut Partai Gelombang Rakyat Indonesia kini mulai merambat masuk pasar pemilih PKS. "Terutama dengan pemilih Islam urban maupun dakwah kampus, yang sebelumnya adalah konstituen PKS kemudian bisa direbut oleh partai Gelora," jelas Wasisto.

Ilustrasi massa aksi FPUIB. [Banten Hits]
Ilustrasi massa ormas Islam. [Dok. Banten Hits]

Sementara pada tataran pemilih Islam tradisionalis, saat ini sudah mulai dimasuki oleh partai Ummat. Partai ini seolah-olah ingin menjadi rumah bagi seluruh kelompok pemeluk agama Islam. "Dengan cara mereka merebut konstituen yang sebelumnya menjadi basis-basis partai-partai Islam yang telah ada," katanya.

Minim Jam Terbang

Kurangnya kursi-kursi pemerintahan yang diduduki oleh kader partai Islam rupanya juga menjadi kendala dalam meningkatkan elektabilitas partainya. Bahkan, salah satu partai Islam tidak pernah menang dalam ajang Pemilu. "Saya pikir faktor jam terbang juga mempengaruhi," tutur Wasisto.

Alhasil, eksistensi partai Islam semakin redup di mata pemilih. Para pemilih Muslim pada akhirnya harus mengambil pilihan lain misalnya seperti memilih partai berhaluan nasionalis atau berpartisipasi dalam gerakan populis.

Pasalnya, partai Islam kekinian dirasa tidak lagi mampu dipergunakan untuk menyampaikan aspirasi kepada penguasa. "Misalnya dengan kelompok 212 dan sebagainya, justru itu lebih cepat merapat ke kekuasaan daripada partai Islam yang memang terseok-seok," katanya.

Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran, Idil Akbar mengatakan pilihan paling rasional yang harus diambil oleh partai-partai berbasis Islam pada akhirnya adalah berkoalisi dengan partai nasionalis. Dengan segala kekurangannya, partai Islam setidaknya bisa mengusung calon presiden dan calon wakil presiden pilihan dalam ajang Pemilu. "Akhirnya pilihan yang rasional adalah bergabung dengan partai nasionalis," ujar Idil.

Sebab jika dilihat mundur ke belakang, kata Idil, belum ada sejarah yang menuliskan partai-partai politik berbasis Islam mampu menghimpun diri dalam satu koalisi untuk berkontestasi dalam ajang politik nasional. "Tidak ada dalam sejarah partai Islam itu bisa berkoalisi secara sukarela kecuali dalam konteks fusi di era Orde Baru," kata Idil.

Respons Partai Islam

Beberapa partai Islam menyanggah survei LSI Deeny JA yang menyebut perolehan suara partai Islam berpotensi turun pada Pemilu 2024. Ketua DPP PKS Muzzammil mengklaim, posisi partainya mengalami kenaikkan berdasar survei-survei sebelumnya. "Alhamdulillah dalam survei 2022 sampai 2023, PKS sebaliknya jauh lebih baik, naik 50-100 persen daripada survei publik di tahun 2018, 2013, 2008 dan 2003 setahun sebelum Pemilu periode lalu," kata Muzzammil dihubungi, Jumat (24/3/2023).

Suasana Majelis Taklim Berselawat di Istora Senayan yang dihadiri Ma'ruf Amin, Senin (8/4/2019). (Suara.com/Fakhri Fuadi)
Ilustrasi--Warga Muslim berselawat di Istora Senayan. (Suara.com/Fakhri Fuadi)

Hal senada juga disampaikan Ketua DPP PKS Bukhori. Ia memandang survei LSI Denny JA tidak bersifat eksploratif. "Kami punya survei yang membantah survei Denny JA. Karena survei LSI cendrung mengarahkan tidak bersifat eksploratif," kata Bukhori.

Kendati begitu, Bukhori menegaskan survei itu bukan dilakukan PKS, melainkan oleh berbagai lembaga survey lain. Dia mengklaim, hasil survei mereka menyebut PKS cukup kompetitif. Maka dari itu, PKS masih optimis di Pemilu 2024 mereka akan tetap eksis sebagai partai berbasis Islam. "PKS tidak punya survei tetapi ada sejumlah lembaga lain yang mensurvei, memposisikan partai Islam khususnya PKS cukup pada posisi kompetitif," imbuhnya.

Kekinian, optimisme PKS bertambah seiring keputusan mereka yang mendukung pencapresan Anies Baswedan. Bukhori mengakui adanya efek ekor jas dari pencapresan Anies. "Itu otomatis dengan sendirinya," tuturnya.

Sementara itu Wasekjen PAN Fikri Yasin menilai survei LSI Denny JA tidak sepenuhnya tepat. Walau begitu, PAN tak mempermasalahkan hasil survei tersebut. "Tapi faktanya nggak juga karena beberapa kali lembaga survei mengadakan survei terus meleset dari kenyataan, lembaga surveinya kayak nggak tahu dengan berbagai dalih," kata Fikri.

"Apalagi lembaga survey kan juga bisa diorder untuk melakukan apa saja yang hasilnya bisa dikondisikan," sambung Fikri.

Berdasarkan asumsi itu, Fikri tidak begitu yakin adanya pergeseran dukungan partai berbasis Islam sebagaimana hasil survei LSI Denny JA. "Jadi kalau terjadi pergeseran basis Islam yang jumlahnya hanya 20 persen, saya nggak yakin. Tapi bahwa terjadi pergeseran naik dan turun di antara 40 persen, itu iya. Karena sekarang ini ada upaya penggiringan opini seolah-olah perebutan basis Islam hanya sedikit, yaitu 20 persen," ujar Fikri.

Sementara itu, Ketua DPP PPP Achmad Baidowi mengatakan hasil survei dari lembaga survey belum tentu tepat. "Ya itu kan baru perkiraan survei, sementara kan survei sering kali tidak sesuai dengan fakta hasil Pemilu. Dan PPP akan ikut Pemilu tidak ikut survey,” ujarnya.

"Namun demikian hasil survei itu menjadi pelecut semangat kami untuk terus bekerja secara maksimal," kata Baidowi.

__________________

Tim Liputan: Rakha Arlyanto & Novian Ardiansyah

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI