Suara.com - Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang menyatakan menunda Pemilu 2024 merupakan putusan yang aneh dan mengejutkan.
"Tentu putusan ini mengejutkan karena sebenarnya banyak aturan yang dilanggar, salah satunya yang paling penting dilanggar oleh PN Jakpus itu adalah pasal 10 dan pasal 11 dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019," kata Feri Amsari dalam diskusi "Jalan terjal Pemilu 2024" di Jakarta, Sabtu (4/4/2023).
Menurutnya, hal tersebut sudah mengubah kompetensi dan yurisdiksi pengadilan negeri dalam penanganan perkara perbuatan melanggar hukum (PMH) dalam Peraturan Mahkamah Agung.
"Jika kemudian ada yang mengajukan perkara PMH ke pengadilan negeri maka (seharusnya) pengadilan negeri akan melimpahkannya ke pengadilan tata usaha negara. Jika pun pengadilan negeri sudah menjalankan perkara tersebut karena luput, khilaf, misalnya, maka harus diputus tidak dapat diterima," katanya.
Baca Juga: PN Jakpus Putuskan Tunda Pemilu 2024, JPRR: Tak Relevan Dengan Gugatan
Atau putusan yang menyatakan tidak terpenuhi syarat-syarat karena tidak sesuai dengan yurisdiksi dan kompetensi peradilan atau gugatan.
"Aturan ini terang benderang sudah dari 2019, sudah ada tradisi di pengadilan negeri untuk melimpahkan perkara PMH ke PTUN, rata-rata semua ditolak (PN), boleh dilihat catatannya," lanjutnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas ini mengatakan bahwa langkah PN Jakpus yang tetap menyidangkan perkara menjadi tindakan yang aneh.
"Makanya aneh, tiba-tiba khusus untuk PMH ini diajukan di PN Jakarta Pusat, kemudian dijalankan bahkan diputuskan perkaranya. Jadi, ini sudah dilanggar," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan hal penting lain yang dilanggar dan lebih dahsyat adalah UUD 1945 yang sudah jelas menyebutkan asas pemilu itu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta dilaksanakan lima tahun sekali.
Baca Juga: Tanggapi Putusan PN Jakpus, Ketua MPR Bamsoet: Pemilu 2024 Harus Dilaksanakan Tepat Waktu
"Putusan (PN Jakpus) ini, hebatnya Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi bahkan tidak punya kewenangan untuk kemudian menunda pemilu karena setiap penundaan itu adalah cacat konstitusional," jelasnya.
Seharusnya, lanjut dia, jika ada kesalahan keperdataan dalam tahapan pemilu yang mesti diperbaiki adalah kesalahan tersebut, bukan dengan menunda pemilu.
"Kalau memang masalahnya soal verifikasi administrasi, kalau itu masalah keperdataannya perbaiki saja itu oleh putusan peradilan. Tapi, kok tiba-tiba meloncat ke masalah hukum publik, yaitu masalah tahapan penyelenggaraan pemilu jadi dari hukum privat perdata ke hukum publik, bagaimana ceritanya," ujar Feri. [ANTARA]