Suara.com - Generasi muda yang memiliki hak memilih dihadapkan dengan munculnya wacana sistem pemilu proporsional tertutup untuk menggantikan sistem secara terbuka yang digunakan selama ini. Sebagai pemilih pemula, ada yang paham namun ada pula yang tidak mengetahuinya.
Suara.com sempat terjun langsung untuk mencari tahu pengetahuan anak-anak muda perihal wacana tersebut. Tepat di GOR Bulungan, Jakarta Selatan, kami sempat menemui anak-anak SMA Negeri 70 Jakarta yang baru saja selesai sekolah.
Semisal, Rafael, siswa kelas XII SMA Negeri 70 yang mengaku baru mendapatkan KTP di 2023. Dengan begitu, Pemilu 2024 adalah pengalaman pertamanya menggunakan hak pilih.
Meskipun terbilang baru, namun ia sedikit memahami perihal sistem pemilu tertutup.
Baca Juga: Survei ARCI, Elektabilitas PDIP Gusur PKB di Puncak, Golkar Salip Gerindra
"Mungkin kalau yang biasa itu terbuka kali, ya, mungkin yang tertutup, publik nggak bisa lihat, mungkin?," kata Rafael.
Walaupun belum pernah merasakan 'mencoblos' di bilik TPS, namun Rafael lebih memilih sistem pemilu yang terbuka.
"Kalau buat yang sekarang yang terbuka, sih, biar lebih jelas, sih. Kan kalau tertutup bisa saja banyak kecurangan, kita kan nggak tahu, (pilih) terbuka sih," terangnya.
Sementara itu, Talita, yang juga berasal dari sekolah yang sama dengan Rafael sama sekali tidak mengetahui apa itu pemilu tertutup.
"Ngga tahu," ucapnya singkat.
Baca Juga: Disindir Belum Usung Capres, KIB Santai: Masih Banyak Waktu untuk Sosialisasi Menuju Kemenangan
Tim Suara.com sempat menjelaskan perbedaan antara sistem pemilu terbuka dan tertutup. Setelah mendengarkan penjelasan itu, Talita lebih memilih yang terbuka.
Ia lebih tertarik apabila foto-foto calon legislatifnya bisa dilihat oleh para pemilih.
"(Pilih yang) terbuka. Mending yang ada fotonya," ucapnya.
Suara.com juga sempat menanyakan perihal serupa kepada mahasiswa. Salah satunya kepada Khalista, mahasiswi Universitas Bakrie.
"Setahu aku sependek pengetahuan aku kalau misalkan yang tertutup itu jadi kita hanya memilih partainya aja, ya, nggak sih? Jadi mereka yang menentukan," jelas Khalista.
Khalista mengaku lebih memilih sistem pemilu terbuka. Alasannya ialah agar para pemilih bisa mengetahui siapa calon legislatif yang dipilih oleh mereka.
"Yang terbuka dong, kalau misalkan tertutup kan kita nggak tahu calonnya siapa terus latar belakangnya gimana terus track recordnya gimana, jadi (pilih) yang terbuka," tuturnya.
Beragamnya pengetahuan pemilih pemula soal sistem pemilu terbuka maupun tertutup diwajarkan oleh legislator. Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily menilai perlu ada sosialisasi seperti pendidikan politik bagi para pemilih pemula.
"Salah satu caranya tentu adalah menyampaikan kepada mereka bahwa proses untuk memilih wakil-wakilnya di DPR itu baik tingkat pusat maupun daerah ada beberapa sistem yang digunakan sebagaimana lazimnya sistem pemilu," terang Ace ketika ditemui Suara.com di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (18/1/2023).
Lebih lanjut, suara para pemilih pemula soal keinginan mereka kalau pemilih dilakukan secara terbuka juga diamini oleh Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan. Menurutnya, pemilu terbuka menjadi kesempatan pula para caleg untuk berinteraksi dengan pemilih mempromosikan visi dan misinya apabila terpilih nanti.
"Saya yakin mereka akan lebih memilih yang terbuka kenapa terbuka? Kalau terbuka itu kan caleg yang maju memberikan komitmennya kepada pemilihnya bisa berinteraksi sama pemilih, apa komitmennya bagaimana perjuangan dan bagaimana visinya ke depan," terang Syarief.
Dalam kesempatan yang sama, Syarief juga berharap suara para pemilih pemula bisa menjadi masukan untuk Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini, MK masih menjalani sidang uji materi atas Pasal 168 UU Pemilu tentang sistem proporsional terbuka.
Sebanyak enam orang menjadi penggugat dalam pengajuan uji materi tersebut. Mereka ialah Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi (bacaleg 2024), Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel), Riyanto (warga Pekalongan) dan Nono Marijono (warga Depok).
Mereka meminta MK untuk mengabulkan permohonan agar pemilu dilakukan dengan mencoblos logo partai saja.
"Mudah-mudahan (suara pemilih pemula) itu bisa menjadi referensi MK dalam memutuskan bahwa memang terbuka, lah, yang baik, lah, yah," harap Syarief.