Suara.com - Polemik terkait sistem pemilu kembali memantik 'perseteruan' antara PDIP dengan Partai Demokrat. Hal ini tergambar saat politisi PDIP Adian Napitupulu beradu argumen dengan politisi Demokrat, Jansen Sitindaon.
Debat panas antara Adian Napitupulu dengan Jansen Sitindaon tergambar saat diundang dalam acara Catatan Demokrasi sebagaimana disitat dari akun YouTube TvOneNews, Rabu (22/3/2023).
Acara itu mengangkat isu soal sistem pemilu terbuka atau tertutup dengan mengundang sejumlah narasumber dua di antaranya adalah Adian Napitupulu dan Jansen Sitindaon.
Mulanya, Jansen Sitindaon yang merupakan Wasekjen Demokrat menjelaskan alasan kenapa Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara terkait sistem pemilu. Di mana PDIP menginginkan agar sistem pemilu diubah menjadi sistem tertutup dan saat ini tengah proses persidangan di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Jansen, apa yang disinggung SBY menjadikan publik peduli. Ia juga menilai isu sistem pemilu banyak di luar sana yang belum terlalu paham.
Setelah menjelaskan panjang lebar, Jansen lantas melemparkan pertanyaan di saat proses tahapan pemilu yang sudah ditentukan jadwal resminya, mendadak PDIP kemudian menginginkan sistem pemilu diubah menjadi tertutup.
"....Substansi, kenapa PDIP kok mau (sistem pemilu) tertutup," ujar Jansen.
Pertanyaan itu langsung dibalas oleh Adian Napitupulu yang saat ini duduk sebagai anggota DPR dari PDIP.
Ia mencoba mengulang kronologi sebagaimana dikatakan Jansen, sudah ada gugatan ke MK, tetapi minim liputan, karena minim liputan kemudian SBY bicara, demikian kata Adian.
Baca Juga: Pena 98 Tetapkan 8 Kriteria Capres 2024, Adian Napitupulu: Kita Komunikasikan Ke Semua Pihak
"Problemnya media masa tidak meliput maksimal persidangan di MK, artinya bahwa untuk mencegah kegaduhan liputlah sebanyak-banyak, agar SBY tidak nulis surat lagi, nulis surat lagi," ujar Adian.
"Yang repot kan bahwa kemudian, media meliput, SBY tulis surat kita (PDIP) tertuduh, media tidak meliput, SBY tulis surat, kita dianggap apa," sambungnya.
Adian lantas mengkritisi surat SBY itu yang menurutnya seolah-olah menghakimi, lalu disebut Jansen bahwa kenapa surat itu keluar karena minimnya publikasi persidangan.
Adian bahkan menyarankan agar surat SBY tidak keluar adalah dengan membawa 20 kamera ke sidang MK dengan seluruh media televisi meliput. Ia bahkan sampai menyentil Jansen soal nomor urut dan dapil.
".... Okelah ada kepentingan Jansen untuk nomor urut dan dapil, tapi mujinya jangan berlebihan, gitu loh," ujar Adian.
Jansen pun mencoba memotong, namun Adian terus berbicara.
"Bukan-bukan itu, ini, ini kemudian menjadi pribadi," ujar Jansen.
Namun Adian masih terus berbicara.
"Semoga pujian lo masih betul-betul berpengaruh pada dapil dan nomor urut lo. Jangan sampai memujinya sudah berlebihan, menempatkan SBY sebagai pemicu wacana, pemicu perdebatan, pemicu diskusi, ternyata dapilnya nggak sesuai, nomor urutnya tidak sesuai, kira-kira begitu," tutur Adian.
Ucapan Adian lantas dibalas Jansen, ia mengatakan, bahwa mengubah sistem pemilu bukan keputusan dan kebijakan biasa.
"Karena ini soal nasib, mari kita bahas situasi lebih tenang. Ada konsensu, jangan-jangan persoalannya terkait politik uang, politik representasi di DPR bukan hanya soal terbuka atau tertutup ini, ada problem yang lain," ujar Jansen.
Namun lagi-lagi Adian memotong perkataan Jansen. Ia menanyakan soal substansi apa yang diperdebatkan.
"Jadi problem kita apa di sini, apa karena nggak ngomong-ngomong," ujar Adian.
"Aku tidak ngerti soal terbuka atau tertutup ini, apa maksud dia," timpal Jansen.
Pernyataan SBY
Sebelumnya SBY buka suara terkait sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup yang kini sedang proses sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi.
"Saya mulai tertarik dengan isu penggantian sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup. Informasinya, Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera memutus mana yang hendak dipilih dan kemudian dijalankan di negeri ini. Sebelum yang lain, dari sini saya sudah memiliki satu catatan," tulis SBY dalam keterangannya dikutip Minggu (19/2/2023).
Dalam catatannya, SBY mempertanyakan tepat tidaknya sistem Pemilu diubah san diganti saat tahapan Pemilu sudah mulai berjalan.
"Benarkah sebuah sistem pemilu diubah dan diganti ketika proses pemilu sudah dimulai, sesuai dengan agenda dan "time-line" yang ditetapkan oleh KPU? Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan?" tanya SBY.
Pertanyaan ini, kata SBY, tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup yang mesti dianut dalam pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini.
Ia juga menanyakan, apakah saat ini, ketika proses Pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara Indonesia, seperti situasi krisis tahun 1998 misalnya, sehingga sistem Pemilu mesti diganti di tengah jalan.
"Namun, di masa tenang, bagus jika dilakukan perembugan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan judical review ke MK. Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka - tertutup semata," tutur SBY.
Menurut dia, tatanan kehidupan bernegara yang baik dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak.
Apa yang saya maksud? Jika kita hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara. Perlu dilibatkan," kata SBY.
Keterlibatan rakyat kata SBY, bisa dengan berbagai cara. Salah satunya menggunakan sistem referendum yang formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal.
SBY beranggapan, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan atau power yang dimilikinya.
"Dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan 'hajat hidup rakyat secara keseluruhan'," ujar SBY.
"Menurut pendapat saya, mengubah sistem pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy) biasa, yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional (kebijakan pembangunan misalnya)" sambung SBY.
Pernyataan SBY itu pun direspons oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Menurut Hasto, SBY sedang lupa dengan apa yang pernah diperbuatnya ketika masih menjadi presiden pada tahun 2008 lalu.
“Pak SBY kan tidak memahami jas merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember tahun 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review. Dan itu hanya beberapa bulan, sekitar 4 bulan menjelang Pemilu yang seharusnya tidak boleh ada perubahan,” kata Hasto dalam keterangannya dikutip Senin (20/2/2023).
Menurut dia, sistem pemilu dirubah saat era SBY sebagai strategi jangka pendek Demokrat untuk meraih kemenangan. Bahkan, Hasto menyebut target kemenangan itu bisa mencapai 300 persen.
“Sehingga dengan melakukan segala cara akhirnya Partai Demokrat mengalami kenaikan 300 persen, bayangkan dengan PDI perjuangan yang ketika berkuasa, kenaikannya hanya 1,5 persen," kata Hasto.
"Sehingga, mustahil dengan sistem multi partai yang kompleks suatu partai bisa menaikkan suaranya bisa 300 persen dan itu tidak mungkin terjadi tanpa kecurangan masif, tanpa menggunakan beberapa elemen dari KPU yang seharusnya netral. Dan itu dipakai, dan dijanjikan masuk ke dalam kepengurusan partai tersebut,” sambung dia.
Hasto lantas nenyampaikan terkaitjudical review yang saat ini sedang berporses di Mahakamah Konstitusi, berbeda dengan yang dilakukan pada 2008 silam.
“Judical review sekarang tidak dilakukan oleh partai karena PDI Perjuangan juga tidak punya hak, tidak punya legal standing untuk melakukan judicial review," lanjut dia.
"Ini dilakukan oleh beberapa pakar yang melihat bahwa dengan demokrasi proporsional terbuka yang dicanangkan oleh pada zaman Pak SBY tersebut, yang terjadi ternyata liberalisasi politik yang luar biasa yang menyulitkan kami untuk mencalonkan rektor, untuk mencalonkan akademisi, untuk mencalonkan pakar untuk mencalonkan budayawan, untuk mencalonkan tokoh-tokoh betawi, untuk mencalonkan tokoh-tokoh nelayan,” kata Hasto.
Menurut Hasto, penggantian sistem Pemilu menjadi proporsional terbuka yang dilakukan era SBY membuat partai digerakkan oleh kekuatan kapital.
“Ada investor-investor yang menyandera demokrasi. Jadi Pak SBY sebaiknya ingat bahwa liberalisasi itu justru tejadi pada masa beliau. Judical review saat itu dilakukan hanya beberapa bulan menjelang pemilu, berbeda dengan sekarang karena komitmen untuk mengembalikan sistem politik pada Pancasila,” kata Hasto.
Hasto juga mengingatkan jika ada undang-undang yang hanya digunakan untuk kepentingan partai, yang terjadi ada etika yang dilanggar.
“Ketika undang-undang digerakkan untuk kepentingan kekuasaan bagi partainya, yang dilakukan sering kali melanggar aspek-aspek kepantasan, aspek etika,” tandasnya.