Suara.com - Wakil Sekretaris Jendetal Partai Demokrat Irwan Fecho membalas sindiran Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kepada Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) perihal sistem Pemilu proporsional terbuka dan tertutup.
Sebelumnya Hasto meminta Presiden ke-6 RI itu untuk mengingat bahwa di eranya yakni pada 2008 pernah mengubah sistem Pemilu dari tertutup menjadi terbuka. Hasto menganggap apa yang dilakukan SBY itu hanya untuk mendongkrak kemenangan Demokrat.
Irwan kemudian membalas sindiran Hasto. Menurut Irwan saat ini Hasto justru yang dinilai ngotot ingin mengubah sistem Pemilu kembali menjadi proporsional tertutup dengan alasan pribadi tertentu.
"Saya curiga Hasto ngebet sekali dorong proporsional tertutup karena dia sangat trauma dengan kasus Harun Masiku. Dia bahkan nggak bisa bedakan mana kehendak rakyat, mana kehendak elite. Pesan Pak SBY jelas sekali, tanya dulu kehendak rakyat!" kata Irwan dalam keterangannya, Senin (20/2/2023).
Baca Juga: Demokrat dan PDIP Memanas, Hasto: Pemilu Era SBY Bikin Partai Digerakkan Kapital
Mengulang apa yang nenjadi pertanyaan SBY, Irwan menanyakan kembali terkait apa alasan kuat untuk mengubah sistem Pemilu saat ini.
"Itu yang ditanyakan Pak SBY. Harusnya fokus jawab itu. Bukan justru membandingkan perubahan sistem Pemilu di 2008. Perubahan sistem Pemilu di 2008 menjadi proporsional terbuka adalah murni kehendak rakyat, pekerjaan rumah pasca-reformasi yang belum diselesaikan pemimpin pemerintahan sebelumnya," beber Irwan.
Irwan menegaskan, sistem Pemilu dengan proporsional tertutup merupakan peninggalan Orde Baru atau Orba. Menjadi tidak relevan jika kemudian dibuat kembali.
"Sistem pemilu tertutup itu warisan Orba. Apakah Hasto mau kembali ke sistem Orba? Rakyat berhak memilih langsung wakilnya sesuai yang mereka inginkan dalam pemilihan langsung. Rakyat bisa menagih langsung ke wakil rakyat yang mereka pilih dibanding wakil mereka yang dipilih oleh elite partai," kata Irwan.
Sindiran Hasto Ke SBY
Baca Juga: PDIP Tegaskan Hanya Mau Koalisi Dengan Partai Yang Belum Deklarasikan Capres
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menanggapi pernyataan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mempertanyakan urgensi perihal penggantian sistem Pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup. Hasto mengingatkan kejadian pada tahun 2008.
Menurut Hasto SBY sedang lupa dengan apa yang pernah diperbuatnya ketika masih menjadi presiden.
“Pak SBY kan tidak memahami jas merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember tahun 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review. Dan itu hanya beberapa bulan, sekitar 4 bulan menjelang Pemilu yang seharusnya tidak boleh ada perubahan,” kata Hasto dalam keterangannya dikutip Senin (20/2/2023).
Hasto berpandangan, mengubah sistem pemilu yang dilakukan era SBY sebagai strategi jangka pendek Demokrat untuk meraih kemenangan. Bahkan, Hasto menyebut target kemenangan itu bisa mencapai 300 persen.
“Sehingga dengan melakukan segala cara akhirnya Partai Demokrat mengalami kenaikan 300 persen, bayangkan dengan PDI perjuangan yang ketika berkuasa, kenaikannya hanya 1,5 persen, sehingga mustahil dengan sistem multi partai yang kompleks suatu partai bisa menaikkan suaranya bisa 300 persen dan itu tidak mungkin terjadi tanpa kecurangan masif, tanpa menggunakan beberapa elemen dari KPU yang seharusnya netral. Dan itu dipakai, dan dijanjikan masuk ke dalam kepengurusan partai tersebut,” tutur Hasto.
Hasto lantas nenyampaikan terkaitjudical review yang saat inibsedang berporses di Mahakamah Konstitusi, berbeda deengan yang dilakukan pada 2008 silam.
“Judical review sekarang tidak dilakukan oleh partai karena PDI Perjuangan juga tidak punya hak, tidak punya legal standing untuk melakukan judicial review. Ini dilakukan oleh beberapa pakar yang melihat bahwa dengan demokrasi proporsional terbuka yang dicanangkan oleh pada zaman Pak SBY tersebut, yang terjadi ternyata liberalisasi politik yang luar biasa yang menyulitkan kami untuk mencalonkan rektor, untuk mencalonkan akademisi, untuk mencalonkan pakar untuk mencalonkan budayawan, untuk mencalonkan tokoh-tokoh betawi, untuk mencalonkan tokoh-tokoh nelayan,” papar Hasto.
Menurut Hasto, penggantian sistem Pemilu menjadi proporsional terbuka yang dilakukan era SBY membuat partai digerakkan oleh kekuatan kapital.
“Ada investor-investor yang menyandera demokrasi. Jadi Pak SBY sebaiknya ingat bahwa liberalisasi itu justru tejadi pada masa beliau. Judical review saat itu dilakukan hanya beberapa bulan menjelang pemilu, berbeda dengan sekarang karena komitmen untuk mengembalikan sistem politik pada Pancasila,” kata Hasto.
Terakhir, Hasro mengingatkan jika ada undang-undang yang hanya digunakan untuk kepentingan partai, yang terjadi ada etika yang dilanggar.
“Ketika undang-undang digerakkan untuk kepentingan kekuasaan bagi partainya, yang dilakukan sering kali melanggar aspek-aspek kepantasan, aspek etika,” tandasnya.
Pernyataan SBY
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) buka suara soal ramai sistem Pemilu proporsional terbuka dan tertutup yang kini sedang dalam sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
SBY terbesit untuk memberikan tanggapan menyusul MK yang segera memutuskan hasil dari sidang judicial review tersebut.
"Saya mulai tertarik dengan isu penggantian sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup. Informasinya, Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera memutus mana yang hendak dipilih dan kemudian dijalankan di negeri ini. Sebelum yang lain, dari sini saya sudah memiliki satu catatan," tulis SBY dalam keterangannya dikutip Minggu (19/2/2023).
Dalam catatannya, SBY mempertanyakan tepat tidaknya sistem Pemilu diubah san diganti saat tahapan Pemilu sudah mulai berjalan.
"Benarkah sebuah sistem pemilu diubah dan diganti ketika proses pemilu sudah dimulai, sesuai dengan agenda dan "time-line" yang ditetapkan oleh KPU? Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan?" tanya SBY.
Pertanyaan ini, kata SBY, tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup yang mesti dianut dalam pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini.
SBY lantas bertanua, apakah saat ini, ketika proses Pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara Indonesia, seperti situasi krisis tahun 1998 misalnya, sehingga sistem Pemilu mesti diganti di tengah jalan.
SBY tidak mengelak bahwa mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan.
"Namun, di masa "tenang", bagus jika dilakukan perembugan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan judical review ke MK. Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka - tertutup semata," tutur SBY.
SBY berujar dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak.
"Apa yang saya maksud? Jika kita hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara. Perlu dilibatkan," kata SBY.
Pelibatan rakyat itu bisa dengan berbagai cara. SBY menyebutkan, semisa menggunakan sistem referendum yang formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal.
SBY berpendapat, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan atau power yang dimilikinya.
"Dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan 'hajat hidup rakyat secara keseluruhan'," ujar SBY.
"Menurut pendapat saya, mengubah sistem pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy) biasa, yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional (kebijakan pembangunan misalnya)" sambung SBY.