Suara.com - Bangsa Indonesia masih trauma dengan politik identitas. Berkaca dari Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019, agama dipolitisasi untuk meraup suara pemilih. Dampaknya terjadi perpecahan di masyarakat.
POLITIK identitas jadi momok kerukunan masyarakat di akar rumput. Para petinggi partai politik sepakat meninggalkan. Bahkan Presiden Joko Widodo tak bosan mewanti-wanti warga menjauhi politik identitas.
Namun tidak bagi Partai Ummat. Terang-terangan partai besutan Amies Rais ini menyatakan mengusung politik identitas di Pemilu 2024. Baginya itu unsur inheren partai politik.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati memandang pernyataan itu bisa menggerus kualitas demokrasi di republik ini.
Dalam perterungan politik, terlebih Pemilu, yang diadu ialah gagasan. Bukan justru identitas. "Dampak yang ditimbulkan dari pernyataan tersebut justru malah mengurangi kualitas demokrasi di Indonesia," kata Wasisto kepada Suara.com, Kamis (17/2/2023).
Lewat pernyataan para petingginya, Partai Ummat melihat narasi politik identitas kini hanya menjadi bagian dari proyek besar sekulerisme untuk memisahkan politik dengan agama. Sebaliknya, partai ini memandang berbeda.
Terkait cara pandang Partai Ummat itu, Wasisto ikut berpendapat. Dia tidak menitikberatkan benar atau salahnya pola pikir Partai Ummat terhadap politik identitas. Ia hanya menekankan agar ideologi yang diutamakan untuk membuat kontra narasi atas pernyataan Partai Ummat.
Penggunaan ideologi jadi penting untuk menghindari "luka lama" pada Pemilu maupun Pilkada periode lalu akibat permainan politik identitas. "Kalau pandangan Partai Ummat memang demikian, idealnya perlu dibalas dengan ideologi karena kalau identitas dibalas dengan identitas, kondisi politik akan semakin keruh," ujarnya.
Wasisto menjelaskan esensi mendasar politik identitas merupakan rekognisi dan representasi sehingga perlu adanya akomodasi. "Ini sebenarnya lebih pada cara pandang tentang bagaimana suatu identitas itu sejajar. Pengertian tersebut sebenarnya lebih bermakna sosiologis. Namun ketika itu ditarik ke politik, jadinya malah justru pertarungan antar identitas untuk mendapat akomodasi itu," terangnya.
Baca Juga: INFOGRAFIS: Partai Ummat, Pengusung Politik Identitas
Wasisto sendiri menyadari tujuan Partai Ummat di balik penggunaan politik identitas. Menurutnya ada kemungkinan Partai Ummat ingin meraih simpati dan empati pemilih golongan tertentu. "Bisa ya dan tidak. Ya, karena bisa jadi mereka bisa menarget potensi pemilih yang selama ini selaras dengan politik identitas. Tidak, karena mengusung politik identitas di ruang publik tentu berisiko apalagi memori polarisasi yang membuat disrupsi dan segregasi sosial," jelas Wasisto.