Suara.com - Kehadiran bohir politik kian dilirik bagi orang yang ingin mencalonkan diri maju menjadi kepala daerah. Bagaikan simbiosis mutualisme, antara bohir dan calon sama-sama diuntungkan. Bohir, merujuk pada pemodal politik.
BOHIR politik menimbulkan polemik di masyarakat, seiring terungkap adanya perjanjian utang piutang antara Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno saat maju Pilkada DKI Jakarta 2017. Terkuak, Anies berutang puluhan miliar rupiah yang dicatat dan ditanda tangani dalam surat perjanjian bermatrai.
Isu tersebut pertama kali diungkapkan oleh Waketum Golkar, Erwin Aksa saat diskusi bersama Akbar Faizal di podcast youtube pada 5 Februari lalu. Di podcast itu disebut Anies Masih Utang Rp50 Miliar ke Sandiaga Uno.
Belakangan diakui Anies, utang puluhan miliar rupiah tersebut ternyata bukan bersumber dari Sandiaga, melainkan pihak ketiga. Pihak ketiga memang memberikan dukungan berupa uang, tetapi mereka ingin dukungan itu dicatat sebagai utang.
Baca Juga: CEK FAKTA: Anies Baswedan Digugat Sandiaga Uno Buntut Utang Rp 50 Miliar?
Pengamat politik Dedi Kurnia Syah berpendapat, kehadiran bohir memang lazim sebagai praktik politik elektoral lantaran memerlukan biaya besar. Tetapi menjadi tidak lazim dalam etika politik.
Dalam kasus yang terjadi pada Anies dan Sandiaga, Dedi mengatakan dukungan berupa biaya dari pihak ketiga seharusnya tidak dapat disebut pinjaman. Meski kemenangan Anies-Sandiaga di Pilkada membuat persoalan utang beres, namun urusan tidak selesai sampai di situ.
Dedi menilai bentuk dukungan berupa uang cuma-cuma itu tentu bisa saja digantikan lewat akomodasi politik oleh para calon yang menang, dalam hal ini Anies-Sandiaga. "Ketika kontestasi berakhir dengan kemenangan, maka proses utang akan lebur digantikan dengan akomodasi politik antara pemenang dengan yang memberikan bantuan dana," kata Dedi kepada Suara.com, Selasa (14/2/2023).
Begitu gambaran cara kerja bohir politik yang meski memberikan dukungan secara cuma-cuma di awal, tetapi untuk selanjutnya bisa menyandera orang yang mendapat sokongan. Dengan demikian simbiosis yang tadinya saling menguntungkan, bukan tidak mungkin kehadiran bohir akan menjadi benalu di pemerintahan.
Sebab ada potensi kepala daerah tidak lagi menjadikan warganya sebagai prioritas dalam menentukan kebijakan. "(Kehadiran bohir) berdampak pada akomodasi kebijakan, pemerintahan menjadi tidak mendahulukan warganya, melainkan mendahulukan kepentingan pemodal. Tentu, termasuk banyaknya kepala daerah terjerat korupsi," ujar Dedi.
Baca Juga: Disalami Amien Rais, Anies Baswedan Sumringah Disoraki 'Presiden' di Rakernas Partai Ummat
Ibarat balas budi, tentu pemimpin terpilih tidak akan lupa dengan jasa para bohir. Hal itu yang dilihat Dedi banyak terjadi di kontestasi pemilihan kepala daerah. Ia menyebut keberadaan bohir politik sudah menggurita.
Menurut dia sejauh ini masih sulit untuk menghindari keterlibatan bohir politik sepanjag sistem elektoralnya masih serupa, ditambah ada batasan kompetisi. "Jika kompetisi eksekutif tidak harus melalui partai dan tidak ada ambang batas untuk Pilpres, maka besar kemungkinan bohir politik berkurang. Kita bisa lihat untuk kontestasi legislatif yang minim bohir, hal itu karena banyaknya kontestan yang merebut," tutur Dedi.
Sementara itu pengamat politik FISIP Universitas Indonesia, Aditya Perdana mengatakan sebenarnya sudah ada regulasi menyoal dukungan pembiayaan politik, khususnya kampanye.
Aturan itu, dikatakan Aditya, mengatur tentang siapa saja yang boleh menyumbang dan berapa jumlah serta bagaimana mekanisme pelaporannya. "Namun selama ini sepengetahuan saya memang tidak banyak yang terbuka secara terang benderang berapa jumlah yang diberikan kepada calon tertentu. Ini menurut saya menarik ya karena ternyata ada pengakuan dari pihak tertentu, biasanya kan tidak demikian," kata Aditya.
Ia mengatakan perlu ada penerapan sanksi agar regulasi yang ada itu benar-benar dijalankan. Di mana para calon dapat secara transparan melaporkan sumbangan dana yang ia dapat.
Perjanjian Politik di Balik Layar
Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah berpendapat seharusnya perjanjian utang piutang antara Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno di Pilkada DKI Jakarta 2017 tak harusnya terjadi.
Menurutnya, perjanjian semacam itu bisa menimbulkan permufakatan jahat. "Perjanjian semacam itu tidak boleh ada. Dan kita harus komit supaya perjanjian hutang piutang antara politisi di belakang layar itu ditiadakan, karena itu bisa disebut sebagai permufakatan jahat," kata Fahri ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Senin (13/2).
Dia berujar, jika ada perjanjian di balik proses Pemilu yang mana pihak dipinjamkan uang menang dan dianggap lunas, maka itu ada niat untuk menggunakan kekuasaan. "Karena kan niatnya mau menggunakan kekuasaan untuk tujuan yang tidak ada dalam peraturan dan tujuan penyelenggaraan kekuasaan itu sendiri. Maka itu tidak boleh ada," ujarnya.
Menurut Fahri perjanjian sokongan dana untuk kampanye di balik layar seperti itu dekat dengan praktik korupsi. Ketika ada calon kepala daerah meminjam uang Rp50 miliar dengan mengatakan nanti kalau menang tidak usah dilunasi, uang pinjaman itu tetap tidak hilang. Artinya, uang harus tetap dikompensasi dari kekuasaan. "Itu harusnya warning ya, KPK harusnya mengincar itu kalau ada orang bikin perjanjian dengan pengusaha, orang kaya, duit dan sebagainya ditangkap itu harusnya. Tidak boleh ada yang begitu," tuturnya.
Fahri berujar, prihal ini ia tidak bermaksud mengkritik orang tertentu. Tapi, dia mengingatkan perjanjian di belakang layar seperti itu tidak boleh ada, karena mengikat pejabat publik. Sehingga dapat memicu tindakan korupsi di kekuasaan seperti pemanfaatan kewenangan, perizinan, anggaran negara dan sebagainya. "Sehingga pejabat publik itu tidak menjalankan kekuasaan secara transparan karena ada deal di belakang layar. Kalau mau bersih dari korupsi, cara kelola negara hentikan permainan di belakang layar," ucap Fahri.
Fahri mengusulkan, para bohir politik dalam hal ini penyumbang-penyumbang cukup mencantumkan nama secara resmi dan melobi secara resmi institusi atau orang terpilih itu. Menurut dia hal itu tidak akan menjadi masalah.
Contohnya, di Amerika Serikat, kata dia, ada donor Demokrat dan donor Republik. Hal itu diumumkan dan negara tidak boleh mengganggu. Sebab hak donor harus pula tetap dilindungi.
"Tapi, kepentingan donor itu nanti formil. Saya pengusaha ini saya minta anda bela ini, tidak ada masalah. Tapi, kalau diam-diam di belakang layar kan berbahaya, tidak boleh diteruskan praktek seperti itu," terang Fahri.
Pengakuan Anies
Anies Baswedan, akhirnya angkat bicara menanggapi soal dirinya diisukan belum membayar utang sebesar Rp50 miliar kepada Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017 silam.
Anies menyatakan, bahwa permasalahan utang piutang itu selesai pasca dirinya berhasil menang di Pilkada DKI tersebut.
Anies awalnya menceritakan pada masa kampanye ketika dirinya ikut dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta, banyak pihak yang memberikan sumbangan. Sampai akhirnya datang lah dukungan yang ingin dicatat sebagai pinjaman.
"Kemudian, ada pinjaman, sebetulnya bukan pinjaman, dukungan. Yang pemberi dukungan ini meminta dicatat sebagai utang. Jadi dukungan yang minta dicatat sebagai utang," kata Anies dalam Youtube Merry Riana, dikutip, Sabtu (11/2).
Kemudian ia menyampaikan, bahwa adanya dukungan itu untuk sebuah kampanye untuk perubahan dan perbaikan. Menurutnya, jika Pilkada DKI Jakarta kala itu dirinya bersama Sandiaga Uno berhasil memenangkan, maka pinjaman tersebut dianggap lunas dan selesai.
Namun, jika pasangan Anies-Sandiaga kala itu kalah, maka pinjaman tersebut harus dibayarkan atau dilunasi. Lalu Anies menyampaikan, jika pinjaman tersebut Sandiaga berlaku sebagai penjamin saja bukan orang memiliki uang.
"Jadi itu kan dukungan tuh, siapa penjaminnya? Penjaminnya Pak Sandi. Jadi uangnya bukan dari Pak Sandi. Itu ada pihak ketiga yang mendukung, kemudian saya yang menyatakan, ada suratnya, surat pernyataan utang saya yang tanda tangan," tuturnya.
"Di dalam surat itu disampaikan apabila Pilkada kalah, maka saya berjanjai, saya dan Pak Sandiaga Uno berjanji mengembalikan. Saya dan Pak Sandi, yang tanda tangan saya. Apabila kami menang Pilkada, maka ini dinyatakan sebagai bukan utang dan tidak perlu, artinya selesai lah kira-kira," sambungnya.
Adapun Anies menyampaikan, adanya pinjaman tersebut merupakan cara-cara yang harus diterapkan. Menurutnya, karena adanya pinjaman tersebut dengan metode pelunasan jika menang dianggap selesai, hal itu dianggap efektif.
"Itu mindset baru. Cuma kan itu ada perjanjian yang karena ada seseorang yang mengungkap, ya sekarang kita ceritakan. Ada dokumennya. Jadi kalau suatu saat itu dianggap perlu dilihat, boleh saja, wong tidak ada sesuatu yang luar biasa di situ," kata dia.