Suara.com - Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia sejak dulu bermasalah, karena mengandung nilai maupun norma qanun kolonial Belanda.
Karena itulah, sejak era pemerintahan Presiden pertama Soekarno, sudah ada upaya untuk membuat KUHP baru menggantikan yang lama.
Aturan-aturan KUHP lama sudah usang. Apalagi isinya hanyalah saduran dari Wetboek van Strafrecht for Nederlandsch-Indie yang disesaki aturan-aturan diskriminatif serta rasialis.
Puluhan tahun diupayakan, sempat terinterupsi oleh pergolakan-pergolakan politik, pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan KUHP baru pada akhir tahun 2022.

Namun, pasal-pasal dalam KUHP baru tersebut justru menuai protes dari banyak kalangan. Sebab, isinya justru masih mengakomodir perspektif kolonial Belanda.
Misalnya, pasal penghinaan terhadap kepala negara justru dikukuhkan dalam KUHP baru. Sementara dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang membawa spirit kebebasan, mengkritik presiden tidak dikategorikan sebagai penghinaan.
UUD 1945 hanya melarang penghinaan terhadap simbol-simbol negara yakni bendera Merah Putih dan lambang burung Garuda Pancasila.
Tak hanya itu, terdapat pula pasal yang melarang penyebaran ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme.
Menurut pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, pasal tersebut adalah lelucon. Sebab secara jelas menggambarkan watak pemerintahan kolonial yang takut terhadap ilmu-ilmu kritis.
Baca Juga: KUHP Baru, Beredel Pers Gaya Baru?
Kalangan jurnalis juga memprotes KUHP baru karena masih banyak 'pasal-pasal karet' yang dikhawatirkan bakal memicu pemberedelan media massa.