Suara.com - Mantan Pejabat DJP Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo kini menjadi buah bibir. Bermula dari tindakan anaknya yang menganiaya anak remaja tanpa ampun, kini harta kekayaannya diungkit-ungkit.
Dalam LHKPN terdaftar, dia memiliki kekayaan Rp56,1 miliar, hanya hanya berselisih Rp1,9 miliar dengan harta yang dilaporkan Menteri Keuangan Sri Mulyani senilai Rp58, 048 miliar.
Kejanggalan itu sebenarnya sudah disampaikan PPATK yang mengungkap pada 2012 ditemukan transaksi keuangan yang janggal dilakukan Rafael.
Sebenarnya selain Rafael, terdapat nama lain di DJP yang pegawainya hidup bergelimang harta seperti Dhana Widyatmika mantan pegawai negeri sipil golongan III/c Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Enam ke Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, memiliki kekayaan Rp60 miliar, namun yang terdaftar hanya Rp1,2 miliar.
Baca Juga: Belajar dari Pejabat Pajak Berharta Melimpah, Sistem LHKPN Terintegrasi Harus jadi Terobosan
Kemudian Angin Prayitno yang memiliki harta Rp57 miliar, dan yang paling bikin geger Gayus Tambunan seorang pejabat pajak eselon IIIA yang memiliki kekayaan mencapai Rp100 miliar.
Ketiga nama itu sudah menjadi terpidana kasus penerimaan suap dan gratifikasi.
Peneliti Pusat Antikorupsi (PUKAT) UGM Zaenur Rahman mengakui kebasahan dan kebenaran dari LHKPN masih menjadi problematik.
Banyak penyelenggara negara yang tak jujur menyampaikan harta kekayaannya. Sistem LHKPN yang terintegrasi harus menjadi terobosan.
"Yang jadi problem adalah kita Indonesia, belum punya basis yang terintegrasi mengenai kekayaan. Dan itu seharusnya bisa dibuat dengan diintegrasikan dengan singgle dietity numbers di e-KTP dengan menggunakan NIK," kata Zaenur dihubungi Suara.com, Selasa (28/2/2023) kemarin.
Baca Juga: Rafael Alun Trisambodo Tercatat Main Saham di 6 Perusahaan
Menurutnya dengan sistem yang terintegrasi akan memudahkan untuk melacak harta kekayaan para penyelanggara negara yang berbuat nakal, termasuk para pegawai Kementerian Keuangan.
"Sehingga bisa diketahui mengenai kekayaan di perbankan, reksadana, saham, kendaraan bermotor, tanah atau jenis kekayaan lain bahkan mungkin sampai ke cripto," kata Zaenur.
Ketiadaan sistem LHKPN yang terintegrasi, menjadi kesulitan bagi KPK untuk menelisik harta kekayaan para penyelenggara negara.
"Aparat penegak hukum seperti KPK, terbatas di dalam melakukan analisis. Dan KPK apakah melakukan analisis itu? Sudah," ujarnya.