Kehidupan Anak yang 'Dijual' Online: Tren Parenting atau Eksploitasi Terselubung?

Vania Rossa Suara.Com
Senin, 07 April 2025 | 19:55 WIB
Kehidupan Anak yang 'Dijual' Online: Tren Parenting atau Eksploitasi Terselubung?
Ilustrasi momfluencer. (Freepik)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di balik senyum menggemaskan anak-anak yang tampil dalam video ulasan sebuah taman bermain terkini, atau proses membuka kemasan mainan lucu yang tayang di media sosial, tersimpan satu pertanyaan yang kian mendesak: Apakah mereka sedang menikmati masa kecil, atau justru kehilangan haknya karena telah menjadi konten?

Fenomena momfluencer—sebutan bagi ibu-ibu yang aktif sebagai pemengaruh parenting di media sosial—telah menjelma menjadi industri yang menggiurkan. Lewat konten, mereka membagikan tips mengasuh anak, rekomendasi produk bayi, hingga keseharian keluarga yang tampak harmonis.

Namun, di balik estetika unggahan dan jutaan likes yang mengalir, sebagian publik mulai mempertanyakan: adakah batas antara inspirasi dan eksploitasi?

Anak Sebagai Aset Digital

Dalam berbagai unggahan momfluencer, anak bukan hanya menjadi bagian cerita, tapi pusat perhatian. Wajah mereka muncul di hampir setiap konten, lengkap dengan ekspresi lucu, tangisan polos, atau momen-momen yang seharusnya bersifat pribadi.

Dan harus diakui, konten semacam ini justru paling laku di pasaran. Tawaran sponsorship, endorsement, dan kerja sama dengan brand akan berdatangan, hingga sadar atau tidak, hal ini menjadikan anak sebagai daya tarik utama demi meraih engagement dan keuntungan ekonomi.

Menurut The Influence Agency, 83% momfluencer adalah ibu milenial yang menghabiskan lebih dari delapan jam sehari online. Banyak dari mereka menjadikan anak-anaknya sebagai ‘aset digital’ yang tampil di konten sejak masih dalam kandungan.

Yang kini menjadi pertanyaan, apakah anak-anak ini pernah diberi hak untuk menyetujui eksposur tersebut?

Jejak Digital yang Tak Bisa Dihapus

Baca Juga: Al Gore dan Climate Reality Latih 200 Pemimpin Iklim Muda di Jakarta

Seorang remaja berusia 15 tahun di Jakarta (nama disamarkan), mengaku mulai merasa tidak nyaman saat teman-teman sekolahnya menemukan video masa kecilnya di kanal YouTube milik sang ibu.

“Itu video waktu aku mandi, dikira lucu, tapi sekarang aku malu,” ujarnya pelan mengenai video yang diunggah saat usianya masih dua tahun.

Kasus serupa terjadi di berbagai belahan dunia. Di Prancis, misalnya, seorang remaja menggugat ibunya karena membagikan ratusan foto masa kecilnya tanpa izin.

Di Amerika Serikat, beberapa anak yang pernah dijadikan model konten sang ibu, kini bicara lantang soal trauma yang mereka alami, termasuk kehilangan privasi, tekanan psikologis, hingga perasaan bahwa mereka 'bekerja' tanpa bayaran atau persetujuan.

Hal ini mengangkat pertanyaan hukum dan etika penting: siapa pemilik konten kehidupan seorang anak: apakah orang tuanya, atau anak itu sendiri?

Celah Regulasi dan Minimnya Perlindungan Hukum

Di Indonesia, regulasi mengenai hak anak dalam ruang digital masih kabur. Undang-undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) memang menjamin hak anak atas privasi, perlindungan dari eksploitasi, dan tumbuh kembang yang layak.

Namun sayangnya, belum ada aturan teknis yang spesifik membatasi eksposur anak di media sosial, apalagi jika dilakukan oleh orang tua sendiri.

Beberapa negara mulai bergerak. Prancis, misalnya, telah menerapkan undang-undang yang mewajibkan penghasilan dari konten anak disimpan dalam rekening khusus, yang hanya bisa diakses saat mereka dewasa.

Dan sepertinya Indonesia masih tertinggal dalam diskursus ini. Hal itu lantaran, setiap hari, semakin banyak anak yang "lahir digital", mereka dikenal publik bahkan sebelum bisa berjalan dan bicara!

Antara Niat Baik dan Kepentingan Ekonomi

Atas nama cinta, tentu saja para ibu-ibu pemengaruh ini tak memiliki niat buruk sedikit pun pada anak-anaknya. Banyak yang berangkat dari keinginan tulus untuk berbagi pengalaman, menciptakan komunitas pendukung sesama ibu, atau mendokumentasikan tumbuh kembang anak sebagai kenangan.

Namun di titik tertentu, batas antara kenangan dan komoditas bisa menjadi kabur. Saat uang, popularitas, dan tekanan algoritma ikut bermain, kepentingan anak bisa saja tergeser tanpa disadari.

Menurut Pemerhati Pendidikan dan Anak, Retno Listyarti, penting bagi orang tua untuk membuat batasan yang tegas.

“Anak bukan milik kita. Mereka adalah individu dengan hak-haknya sendiri. Apa yang kita anggap lucu hari ini, bisa jadi jadi sumber trauma mereka kelak,” kata Retno yang pernah menjabat sebagai Komisioner KPAI tahun 2017-2022.

Menuju Etika Baru dalam Parenting Digital

Meningkatnya kesadaran akan hak digital anak membuka peluang untuk perubahan. Kampanye edukasi tentang “sharenting” (oversharing anak di media sosial), literasi digital untuk orang tua, serta pembentukan regulasi baru yang melindungi anak di dunia maya menjadi kebutuhan mendesak.

Di sini kita perlu bertanya: jika seorang influencer tak bisa mengunggah wajah orang asing tanpa izin, mengapa wajah anaknya sendiri bisa dibagikan sesuka hati?

Sejatinya, tren momfluencer bukan untuk dilenyapkan, tetapi untuk disadari ulang. Tujuannya, agar media sosial menjadi ruang yang aman bukan hanya untuk berbagi inspirasi, tapi juga untuk menjaga martabat anak sebagai subjek yang memiliki hak, bukan objek konten yang bisa dijual-beli.

Karena setiap anak punya hak untuk tumbuh dengan aman—bahkan di dunia digital.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI