Atas nama cinta, tentu saja para ibu-ibu pemengaruh ini tak memiliki niat buruk sedikit pun pada anak-anaknya. Banyak yang berangkat dari keinginan tulus untuk berbagi pengalaman, menciptakan komunitas pendukung sesama ibu, atau mendokumentasikan tumbuh kembang anak sebagai kenangan.
Namun di titik tertentu, batas antara kenangan dan komoditas bisa menjadi kabur. Saat uang, popularitas, dan tekanan algoritma ikut bermain, kepentingan anak bisa saja tergeser tanpa disadari.
Menurut Pemerhati Pendidikan dan Anak, Retno Listyarti, penting bagi orang tua untuk membuat batasan yang tegas.
“Anak bukan milik kita. Mereka adalah individu dengan hak-haknya sendiri. Apa yang kita anggap lucu hari ini, bisa jadi jadi sumber trauma mereka kelak,” kata Retno yang pernah menjabat sebagai Komisioner KPAI tahun 2017-2022.
Menuju Etika Baru dalam Parenting Digital
Meningkatnya kesadaran akan hak digital anak membuka peluang untuk perubahan. Kampanye edukasi tentang “sharenting” (oversharing anak di media sosial), literasi digital untuk orang tua, serta pembentukan regulasi baru yang melindungi anak di dunia maya menjadi kebutuhan mendesak.
Di sini kita perlu bertanya: jika seorang influencer tak bisa mengunggah wajah orang asing tanpa izin, mengapa wajah anaknya sendiri bisa dibagikan sesuka hati?
Sejatinya, tren momfluencer bukan untuk dilenyapkan, tetapi untuk disadari ulang. Tujuannya, agar media sosial menjadi ruang yang aman bukan hanya untuk berbagi inspirasi, tapi juga untuk menjaga martabat anak sebagai subjek yang memiliki hak, bukan objek konten yang bisa dijual-beli.
Karena setiap anak punya hak untuk tumbuh dengan aman—bahkan di dunia digital.
Baca Juga: Al Gore dan Climate Reality Latih 200 Pemimpin Iklim Muda di Jakarta