Suara.com - Di balik senyum menggemaskan anak-anak yang tampil dalam video ulasan sebuah taman bermain terkini, atau proses membuka kemasan mainan lucu yang tayang di media sosial, tersimpan satu pertanyaan yang kian mendesak: Apakah mereka sedang menikmati masa kecil, atau justru kehilangan haknya karena telah menjadi konten?
Fenomena momfluencer—sebutan bagi ibu-ibu yang aktif sebagai pemengaruh parenting di media sosial—telah menjelma menjadi industri yang menggiurkan. Lewat konten, mereka membagikan tips mengasuh anak, rekomendasi produk bayi, hingga keseharian keluarga yang tampak harmonis.
Namun, di balik estetika unggahan dan jutaan likes yang mengalir, sebagian publik mulai mempertanyakan: adakah batas antara inspirasi dan eksploitasi?
Anak Sebagai Aset Digital
Dalam berbagai unggahan momfluencer, anak bukan hanya menjadi bagian cerita, tapi pusat perhatian. Wajah mereka muncul di hampir setiap konten, lengkap dengan ekspresi lucu, tangisan polos, atau momen-momen yang seharusnya bersifat pribadi.
Dan harus diakui, konten semacam ini justru paling laku di pasaran. Tawaran sponsorship, endorsement, dan kerja sama dengan brand akan berdatangan, hingga sadar atau tidak, hal ini menjadikan anak sebagai daya tarik utama demi meraih engagement dan keuntungan ekonomi.
Menurut The Influence Agency, 83% momfluencer adalah ibu milenial yang menghabiskan lebih dari delapan jam sehari online. Banyak dari mereka menjadikan anak-anaknya sebagai ‘aset digital’ yang tampil di konten sejak masih dalam kandungan.
Yang kini menjadi pertanyaan, apakah anak-anak ini pernah diberi hak untuk menyetujui eksposur tersebut?
Jejak Digital yang Tak Bisa Dihapus
Baca Juga: Al Gore dan Climate Reality Latih 200 Pemimpin Iklim Muda di Jakarta
Seorang remaja berusia 15 tahun di Jakarta (nama disamarkan), mengaku mulai merasa tidak nyaman saat teman-teman sekolahnya menemukan video masa kecilnya di kanal YouTube milik sang ibu.