Suara.com - Fakta menarik diungkap dokter spesialis penyakit dalam yang mengatakan ibadah puasa Ramadan bisa membuat kondisi pasien sakit ginjal kronis lebih terkendali. Eits, tapi ada syaratnya dan tidak boleh sembarangan ya!
Manfaat puasa Ramadan ini diungkap langsung Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal Hipertensi, dr. Donnie Lumban Gaol, Sp.PD-KGH yang menemukan pasien dengan sakit ginjal kronis, sudah dalam tahap harus rutin cuci darah alias dialisis alami kondisi tubuh yang terkendali saat sedang berpuasa.
"Pasien-pasien saya yang cuci darah dengan puasa, malah banyak yang lebih terkendali. Dari sisi minum, cairannya, jadi banyak yang artinya lebih bagus," ujar dr. Donnie dalam acara Hari Ginjal Sedunia atau World Kidney Day (WKD) oleh PT Finusolprima Farma Internasional di Jakarta Selatan, Sabtu (15/3/2025).
Namun dr. Donnie memperingatkan, meski puasa bagus untuk kesehatan ginjal tapi tidak semua pasien dengan cuci darah bisa melakukan puasa. Bahkan di beberapa kondisi seperti sakit ginjal stadium akhir alias gagal ginjal, puasa bisa memperburuk kondisinya.
"Jadi boleh puasa, tapi pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir, di mana stadium (eGFR atau penyaringan) di bawah 15, kita enggak sarankan puasa. karena itu makin memperberat, harmful (berbahaya) untuk penyakit ginjalnya," papar dr. Donnie.
Adapun pasien sakit ginjal yang diizinkan berpuasa menurut dr. Donnie, yaitu jika masih di tahap stadium 3 dan 4. Dalam kondisi tersebut puasa tidak akan memperberat beban kerja ginjal, namun tetap perlu dalam pemantauan dokter.
"Kalau stadium 3 hingga 4, kita masih perbolehkan dengan memperhatikan kondisi ginjalnya sendiri. Jadi banyak hal yang kita bisa nilai," jelasnya.

Perlu diketahui kondisi penyakit gagal ginjal sangat dipengaruhi laju filtrasi glomerulus (eGFR) atau kemampuan ginjal menyaring darah . Jika ginjal tidak berfungsi dengan baik menyaring darah, maka ia umumnya memerlukan tindakan dialisis atau cuci darah menggunakan mesin dialis di rumah sakit.
Adapun stadium penyakit ginjal kronis di antaranya yakni, stadium 1 saat eGFR masih lebih dari 90 mililiter (ml) per menit dengan kerusakan ginjal ringan.
Baca Juga: Bingung Hukum Suntik Saat Puasa? Simak Fatwa MUI dan Pendapat Ulama
Stadium 2 yaitu eGFR 60 hingga 89 ml per menit, dengan kerusakan ginjal ringan. Stadium 3 dengan eGFR 30 hingga 59 ml per menit, dengan penurunan GFR sedang. Stadium 4 yakni eGFR 15 hingga 29 ml per menit, dengan penurunan GFR berat.
Lalu stadium akhir alias stadium 5 yang sudah masuk dalam tahap gagal ginjal, yaitu eGFR kurang dari 15 ml per menit, ginjal hampir tidak berfungsi, dan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.
Dokter yang berpraktik di Mayapada Hospital Jakarta Selatan itu menjelaskan prevalensi penyakit ginjal kronis alias PGK semakin meningkat di Indonesia, dan sayangnya banyak kasus ditemukan dalam kondisi yang cukup parah. Kalau sudah seperti itu, banyak pasien yang harus jalani tindakan cuci darah seumur hidup.
Inilah sebabnya menurut dr. Donnie masyarakat perlu lakukan deteksi dini PGK dengan mengenali gejalanya. Apalagi penyakit ini juga lahir dari komplikasi diabetes dan hipertensi.
"Kondisi diabetes dan hipertensi menjadi salah satu faktor key-risk terbesar pada PGK, yang jika tidak ditangani dengan serius akan menyebabkan gagal ginjal. Sebaliknya, deteksi dini PGK menjadi kunci pencegahan untuk memperlambat atau menghentikan perkembangan penyakit ginjal,” ungkapnya.
Group Marketing Head PT Finusolprima Farma Internasional, dr. Siswandi mengatakan karena kasus ginjal kronik meningkat dari tahun ke tahun, pihaknya menggelar edukasi sekaligus lakukan pemeriksaan ureum dan keratinin untuk karyawan, hingga edukasi pada komunitas ginjal.
"Kegiatan ini sejalan dengan inisiatif keberlanjutan Kalbe, Bersama Sehatkan Bangsa. Dengan tema WKD 2025, Are Your Kidneys OK? Detect Early, Protect Kidney Health, menekankan pentingnya deteksi dini untuk menjaga kesehatan ginjal dan mencegah penyakit ginjal kronik,” ungkap dr. Siswandi.
Perlu diketahui, data Organisasi Kesehatan Dunia alias WHO mengungkap, pada tahun 2020 terdapat 254.028 kasus kematian akibat gagal ginjal kronis. Pada tahun 2021, jumlah kasus mencapai lebih dari 843,6 juta, dan diperkirakan angka kematian akibat gagal ginjal kronis akan meningkat sebesar 41,5 persen pada tahun 2040.
Prevalensi pasien ginjal kronis secara global diperkirakan mencapai lebih dari 10 persen dari populasi umum di seluruh dunia, dengan jumlah penderita sekitar 843,6 juta jiwa.
Sedangkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit ginjal kronis mencapai 0,38 persen dari total populasi, yang setara dengan sekitar 713.783 orang.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mengatakan ada 1 dari 10 orang di Indonesia mengalami penyakit ginjal, termasuk di usia muda. Lalu data Indonesian Renal Registry (IRR) juga adanya menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah pasien yang menjalani terapi hemodialisis, dari 21.759 pada 2013 menjadi 52.835 pada 2016.