Suara.com - Bagi banyak orang, istilah distonia dan sindrom Tourette mungkin masih terdengar asing. Namun, jika disebutkan gejala seperti kedutan wajah, gerakan leher yang tidak terkendali (tengleng), atau suara yang keluar secara spontan, mungkin sebagian besar langsung memahaminya.
Dua gangguan neurologis ini dapat menyebabkan gangguan gerak yang signifikan dan sering kali mengganggu aktivitas sehari-hari. Untuk kondisi yang berat, terapi konvensional seperti obat-obatan dan fisioterapi sering kali tidak cukup. Salah satu solusi medis yang kini semakin berkembang adalah Deep Brain Stimulation (DBS).
RS Siloam Lippo Village menjadi salah satu rumah sakit di Indonesia yang mengembangkan prosedur ini dengan pendekatan multidisiplin dan teknologi mutakhir. Bagaimana DBS bekerja? Dan siapa yang bisa menjalani prosedur ini?
Distonia: Gangguan Gerak yang Sering Tak Disadari
Distonia adalah gangguan saraf yang menyebabkan kekakuan otot berkepanjangan, gerakan berulang, serta postur tubuh yang tidak normal.
Menurut Dr. dr. Rocksy Fransisca V. Situmeang, SpN (K), dokter spesialis neurologi di RS Siloam Lippo Village, gejala yang muncul dapat mengenai berbagai kelompok otot.
Seperti di daerah leher yang orang awam sebut dengan "tengleng" atau "tengeng", otot-otot wajah yang dikenal sebagai kedutan, otot vokal yang menimbukan suara aneh yang tidak terkontrol, dan otot-otot tangan serta kaki yang dapat menimbulkan gerakan aneh seperti menari.
Lebih lanjut dr. Rocksy menambahkan distonia jarang terdiagnosis dengan baik karena gejalanya sering dianggap sepele. Diagnosisnya memerlukan evaluasi klinis mendalam, termasuk wawancara medis, MRI, hingga tes genetik.
Sindrom Tourette: Lebih dari Sekadar Kedutan
Baca Juga: Mengenal Sindrom Tourette yang Diidap Tora Sudiro, Ditandai dengan Gejala Tic
Sindrom Tourette adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan tics, yaitu gerakan atau suara yang muncul tanpa disengaja.
Tics ini dapat berupa kedutan pada wajah, otot sekitar mata dan pipi (motor tics), hingga suara-suara tidak disengaja seperti berdehem atau bahkan teriakan mendadak yang tidak dapat dikontrol (vocal tics).
Gejala ini sering kali membuat penderitanya kesulitan dalam berinteraksi sosial dan dapat menimbulkan kecemasan atau depresi.
"Gangguan ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dan sering dikaitkan dengan faktor genetik serta stres ibu saat hamil," tambah dia.
Dr. Rocksy menjelaskan bahwa Tourette sering kali disertai gangguan lain seperti OCD (Obsessive Compulsive Disorder) atau ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).
Untuk menilai keparahan sindrom Tourette, digunakan skala khusus seperti Yale Global Tic Severity Scale (YGTSS). Jika skornya melebihi 35 dari 50, maka prosedur DBS bisa menjadi opsi pengobatan.
Deep Brain Stimulation (DBS): Harapan Baru bagi Pasien
DBS adalah prosedur di mana elektroda ditanamkan di otak untuk mengirimkan stimulasi listrik ke area yang mengontrol gerakan. Teknik ini telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala distonia dan sindrom Tourette yang berat.
Menurut Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, SpBS, spesialis bedah saraf di RS Siloam Lippo Village, prosedur DBS hanya direkomendasikan bagi pasien dengan kondisi berat yang tidak merespons pengobatan biasa.
"Prosedur ini bekerja dengan cara menanamkan elektroda di dalam otak yang memberikan stimulasi listrik ke area yang mengontrol gerakan, sehingga gejala dapat berkurang secara signifikan," jelas dia lagi.
Keberhasilan DBS di RS Siloam Lippo Village mencapai 78%-82%, setara dengan standar internasional. Distonia memiliki tingkat perbaikan lebih tinggi dibandingkan sindrom Tourette, terutama jika faktor psikologis juga ditangani dengan baik.
DBS bukanlah pengobatan sekali jalan. Stimulasi dapat disesuaikan, dan baterainya perlu diganti setelah beberapa tahun. Meski begitu, prosedur ini secara signifikan meningkatkan kualitas hidup pasien yang sebelumnya mengalami gangguan gerak yang menghambat aktivitas mereka.