Suara.com - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat ini sedang menerapkan kebijakan efisiensi anggaran, termasuk di sektor kesehatan.
Salah satu kebijakan yang menimbulkan kekhawatiran adalah pemotongan anggaran kesehatan sebesar Rp19,6 triliun, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Nomor HK.02.02/A/548/2025.
Langkah ini menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap pasien gagal ginjal kronik khususnya pasien pasca transplantasi ginjal. Bagi pasien gagal ginjal, transplantasi ginjal merupakan salah satu prosedur penyelamatan jiwa, sehingga hal ini merupakan harapan hidup bagi mereka.
Untuk itulah, kebijakan tersebut menjadi sorotan bagi Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) sebab bakal menimbulkan dampak serius bagi pasien gagal ginjal.
"Kesehatan merupakan pilar utama dalam pembangunan suatu negara. Ketersediaan layanan kesehatan yang optimal tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu tetapi juga produktivitas nasional," kata Ketua Umum KPCDI Tony Richard Samosir.
Apalagi tantangan terbesar bagi pasien transplantasi bukan hanya menjalani operasi, melainkan menjaga kesehatan ginjal baru mereka pascaoperasi.
Hal ini tidak terlepas dari ketersediaan obat imunosupresan (Takrolimus) yang stabil dan berkelanjutan. Takrolimus mempunyai indikasi untuk pencegahan rejeksi atau penolakan organ setelah transplantasi hati atau ginjal.
Selain itu, indikasi Takrolimus juga untuk pengobatan rejeksi atau penolakan organ hati atau ginjal pada pasien yang sudah mendapatkan obat-obat imunosupresan lainnya.
Sayangnya, beberapa bulan belakangan, perubahan merek takrolimus yang sering terjadi di RS menyebabkan variabilitas kadar obat darah pasien meningkatkan risiko penolakan akut serta memperburuk fungsi ginjal yang ditransplantasikan.
Baca Juga: Benarkah Pasien Penyakit Ginjal Kronis Dilarang Makan Buah? Ini Penjelasan Dokter
"Keadaan ini memicu pertanyaan, apakah hal ini terjadi akibat dari efisiensi anggaran yang sedang digaungkan oleh Pemerintahan saat ini?," kata Tony.
Bahaya Variabilitas Obat Imunosupresan bagi Pasien
Tony menyoroti bahwa pergantian merek takrolimus secara terus-menerus berdampak pada variabilitas kadar obat dalam darah pasien. Kondisi ini berisiko menyebabkan penolakan akut terhadap ginjal yang telah ditransplantasikan.
Penelitian ilmiah oleh Arreola-Guerra menunjukkan bahwa pergantian formulasi takrolimus berkorelasi dengan peningkatan kejadian penolakan akut pada pasien transplantasi ginjal.
Studi ini menemukan bahwa pasien yang sering mengalami perubahan merek obat lebih rentan mengalami kadar obat yang tidak stabil dalam tubuh, meningkatkan risiko kehilangan ginjal yang telah ditransplantasikan.
Hal ini diperkuat oleh penelitian Schwartz, yang menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan merek takrolimus yang berbeda memiliki variabilitas kadar obat lebih tinggi dibandingkan pasien yang tetap menggunakan formulasi yang sama.
Akibatnya, mereka memerlukan pemeriksaan laboratorium yang lebih sering, yang justru meningkatkan biaya layanan kesehatan.
Ironisnya, dengan adanya pemotongan anggaran, akses terhadap pemeriksaan laboratorium yang memadai semakin terbatas, sehingga memperburuk kondisi pasien transplantasi ginjal yang membutuhkan pemantauan kadar takrolimus secara rutin.
"Temuan ini memperlihatkan bahwa strategi efisiensi anggaran yang mengarah pada penggantian obat non originator tanpa kontrol ketat dapat berujung pada konsekuensi medis yang serius bagi pasien transplantasi,” ujar Tony.
Krisis Ketersediaan Obat dan Fasilitas Laboratorium
Selain perubahan merek obat, pasien juga dihadapkan pada masalah ketersediaan stok obat di rumah sakit. Kekosongan obat imunosupresan seperti takrolimus dapat menyebabkan pasien mengalami jeda pengobatan, yang berisiko memicu reaksi imun terhadap ginjal yang telah ditransplantasikan.
Studi klinis menunjukkan bahwa penurunan kadar takrolimus dalam tubuh, meskipun hanya sementara, dapat memicu reaksi penolakan akut yang jika tidak ditangani segera dapat menyebabkan kegagalan transplantasi.
Jika ginjal yang ditransplantasikan gagal, pasien harus kembali menjalani cuci darah (hemodialisis), yang justru menambah beban biaya kesehatan secara keseluruhan.
Selain itu, fasilitas laboratorium yang diperlukan untuk memantau kondisi pasien transplantasi ginjal masih sangat terbatas. Pemotongan anggaran kesehatan semakin memperparah situasi ini, karena mengurangi akses pasien terhadap pemeriksaan kadar takrolimus yang krusial bagi keberhasilan terapi jangka panjang mereka.
Pentingnya Peninjauan Kembali Kebijakan Efisiensi Anggaran Kesehatan
Dalam rangka memperingati Hari Ginjal Sedunia 2025, yang jatuh pada Kamis, 13 Maret, KPCDI menyerukan peninjauan kembali kebijakan efisiensi anggaran di sektor kesehatan.
Tema Hari Ginjal Sedunia tahun ini, "Apakah Ginjal Anda Baik-Baik Saja? Deteksi Dini, Lindungi Kesehatan Ginjal", menekankan pentingnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan ginjal dan deteksi dini penyakit ginjal.
Tony menegaskan bahwa pemotongan anggaran yang tidak terencana dengan baik dapat berdampak buruk bagi pasien transplantasi ginjal. Tanpa strategi yang komprehensif, kebijakan ini justru dapat meningkatkan beban kesehatan nasional, karena lebih banyak pasien akan mengalami komplikasi serius akibat keterbatasan akses obat dan layanan kesehatan.
KPCDI: Mengawal Hak Pasien Gagal Ginjal di Indonesia
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) merupakan organisasi yang aktif dalam mengedukasi masyarakat tentang kesehatan ginjal serta memperjuangkan hak-hak pasien gagal ginjal. Berdiri sejak 15 Maret 2015, bertepatan dengan peringatan Hari Ginjal Sedunia, KPCDI awalnya hanya merupakan forum komunikasi antarpasien cuci darah untuk berbagi pengalaman.
Seiring waktu, organisasi ini berkembang menjadi wadah advokasi yang kritis terhadap kebijakan publik di bidang kesehatan. KPCDI tidak hanya memberikan dukungan kepada pasien, tetapi juga berperan aktif dalam mempengaruhi kebijakan kesehatan, baik melalui media sosial, pernyataan di media massa, maupun pelobiannya kepada anggota parlemen.
Dengan adanya pengurus di berbagai daerah, KPCDI terus memperjuangkan hak pasien, termasuk akses terhadap obat yang stabil dan layanan kesehatan yang memadai.