Suara.com - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) khawatir penghentian dana AS akan berdampak pada akses obat HIV di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut Reuters, USAID menginstruksikan mitra dan penerima hibahnya untuk menghentikan kegiatan mulai Selasa (27/01). Ini bagian dari kebijakan Presiden Donald Trump yang membekukan bantuan luar negeri selama tiga bulan. Bahkan, Trump berencana menarik AS dari WHO.
Sebagai donor terbesar, AS menyumbang seperlima anggaran WHO yang mencapai US$6,8 miliar per tahun. Namun, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menilai keluarnya AS tak berdampak besar bagi Indonesia.
Di sisi lain, organisasi nonpemerintah merasakan dampaknya. WHO pun meminta AS memberi pengecualian bagi program penyediaan obat antiretroviral (ARV). Program PEPFAR, yang berjalan di 50 negara, termasuk Indonesia, menjadi sorotan.
ARV harus dikonsumsi setiap hari agar HIV tetap terkendali. WHO mencatat, pada akhir 2023, sebanyak 39,9 juta orang di dunia membutuhkannya.
Berbeda dengan beberapa negara Afrika, Indonesia tidak bergantung pada bantuan AS untuk stok ARV.
Meski begitu, Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana, mengingatkan bahwa banyak komponen program HIV di Indonesia masih didanai donor asing, termasuk AS.
Ia juga menyoroti dampak kebijakan Trump, terutama terkait isu gender, terhadap upaya penanggulangan HIV di Indonesia.
"Dalam pidato inagurasi Trump, dia secara eksplisit mengatakan kebijakan AS hanya mengakui dua gender: laki-laki dan perempuan. Di Indonesia, program penanggulangan HIV berhubungan erat dengan teman-teman transgender. Prevalensi HIV di Indonesia di transgender cukup tinggi," ujar Aditya.
Baca Juga: Apa Saja Obat HIV? Trump Beri Titah Stop Pengiriman Obat Ini!
Berdasarkan wawancara dengan pegiat, LSM, dan pengamat kesehatan, BBC News Indonesia berupaya merangkum bagaimana kebijakan Trump mempengaruhi penanggulangan HIV di Indonesia.
Dari Mana Sumber Dana Program HIV di Indonesia?
Laporan tahunan Kementerian Kesehatan mencatat Global Fund sebagai penyumbang utama penanganan HIV di Indonesia.
Pada 2020, sekitar 40,8 persen dana program HIV di Indonesia berasal dari Global Fund. Organisasi ini berfokus pada pemberantasan AIDS, tuberkulosis, dan malaria di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
AS merupakan donor terbesar Global Fund, menyumbang sekitar sepertiga total pendanaannya. Untuk 2023-2025, AS berkomitmen mengalokasikan hingga US$6 miliar.
Selain Global Fund, PEPFAR-USAID juga berkontribusi terhadap program HIV di Indonesia. Pada 2020, proporsinya mencapai 4,8%, menjadikannya donor asing kedua terbesar setelah Global Fund.
Sementara itu, dana dari dalam negeri juga berperan. Pada 2020, APBN menanggung 37,2% pengeluaran program HIV, BPJS 11,2%, sisanya bersumber dari dana daerah.
Di 2024, anggaran kesehatan dalam APBN diproyeksikan mencapai Rp186,4 triliun atau 5,6% dari total APBN, naik 8,1% dari tahun sebelumnya.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana, kebutuhan ideal untuk program HIV nasional adalah Rp4,8 triliun per tahun.
"Angkanya sebenarnya tidak besar," kata Aditya, yang mendorong agar Indonesia bisa mandiri dalam pendanaan program HIV.
Dampak Pada Penanganan HIV di Indonesia
Ketua Yayasan Spiritia, Daniel Marguari, menegaskan bahwa pendanaan obat HIV di Indonesia bersumber dari APBN.
"Obat HIV ditanggung pemerintah, begitu juga biaya tes HIV," kata Daniel seperti dikutip dari BBC News Indonesia, Rabu (29/01).
Namun, menurutnya, USAID turut mendanai berbagai organisasi di Indonesia yang berfokus pada program pendukung HIV. Kini, organisasi-organisasi tersebut harus menghentikan aktivitasnya sementara akibat kebijakan Trump yang menangguhkan bantuan luar negeri.
Aditya Wardhana, menilai upaya penanggulangan HIV masih sangat bergantung pada peran LSM. Meskipun APBN menanggung penyediaan obat, banyak LSM, termasuk yang didanai PEPFAR-USAID, bertugas mendampingi penyintas HIV.
"Pemerintah tidak paham betapa sulitnya mendorong komunitas untuk tes dan berobat," ujar Aditya.
Ia juga mengkritik ketergantungan pemerintah pada bantuan luar negeri.
"Pemerintah seperti lepas tangan. Mereka berpikir, selama obatnya tersedia, biarkan saja LSM terus mencari dana sendiri," katanya.
Saat ini, anggaran program HIV diperkirakan hanya Rp400 miliar, jauh dari kebutuhan ideal Rp4,8 triliun per tahun menurut IAC. "Angka itu sebenarnya tidak besar," ujar Aditya.
Data Kementerian Kesehatan per akhir 2024 mencatat 503.261 orang hidup dengan HIV di Indonesia, namun hanya 351.378 yang mengetahui statusnya.
Artinya, sekitar 30,18 persen masih belum terdeteksi. Dari jumlah tersebut, hanya 217.482 yang telah mendapatkan pengobatan, menunjukkan lebih dari separuhnya belum mengakses terapi.
Aditya menambahkan, penghentian dana USAID membuat organisasi-organisasi ini tidak bisa beroperasi.
"Kami juga belum tahu apakah ini berdampak pada pembayaran gaji. Program PEPFAR mendanai banyak petugas lapangan, mungkin ada ratusan di Jakarta," ujarnya.